Cerpen: Pujian Itu Bukan untuk Saya

 “Pak Mariman terlalu berlebihan memuji saya. Itu tidak baik lo, pak…!” ujar Sugiadi jengah. Ia merasa apa yang telah diperbuat terhadap Mariman, hanyalah hal yang kecil dan biasa. Membantu teman yang sedang mengalami kesulitan. Lagi pula itu sudah menjadi kewajibannya sebagai teman.
“Suatu saat, siapa tahu saya juga mengalami kesulitan dan butuh bantuan pak Mariman,” sambung Sugiadi kemudian.
“Tapi kali ini saya pantas memuji kemurahan hati pak Sugiadi,” tukas Mariman. “Saya telah dipinjamkan uang untuk keperluan sekolah anak saya. Namun terlambat saya mengembalikan uang pinjaman itu.”
“Ah, lupakanlah hal itu, Pak Mariman,”
“Tidak pak Sugiadi..!”
“Wah, minumlah dulu, entar kopi yang disediakan istri saya ini jadi dingin lo pak Mariman.
Kedua bersahabat itu sama-sama menyeruput kopi hitam buatan Bu Anisa, istrinya Sugiadi.
“Saya tidak mungkin untuk melupakannya, pak Sugiadi.” sambung Mariman. ”Saya sering punya pengalaman buruk dalam hal pinjam-meminjam uang ini, pak. Coba  pak Sugiadi bayangkan, saya pernah meminjam uang. Kebetulan saya terlambat mengembalikannya. Memang saya tidak menjanjikan kapan dikembalikan.”
Pak Sugiadi garut-garut kepalanya yang tidak gatal.
“Apa yang terjadi akhirnya? Teman itu menggembor-gemborkannya kepada orang lain sehingga jadi viral kalau saya berhutang. Bahkan istri dan anak-anak saya jadi tahu hal itu.”
Pak Sugiadi menggeleng-geleng.
“Pak, pak... Tidak baik mengungkap hal itu kembali. Setiap orang itu berbeda-beda sifat dan karakternya.” tegur Sugiadi.
“Iya, sih, pak. Toh, yang salah juga saya, kenapa terlambat mengembalikan uang pinjaman. Boleh jadi, ia juga tengah mengalami kesulitan sehingga menggunakan cara itu untuk meminta hutang kepada saya,”
“Tapi tidak semua orang seperti itu,.” pintas Sugiadi .
“Iya, pak. Salah satunya pak Sugiadi sendiri, hehehe…” sambut Mariman.
“Membantu orang lain, apalagi teman, yang mengalami kesusahan. Itu menjadi amal kebaikan, apalagi dilandasi niat yang ikhlas. Itu yang saya tahu, pak. Lagi pula saya dulu juga sering mengalami kesulitan seperti yang pak Mariman alami,” ujar Sugiadi mengingat masa lalunya.
Mariman mengangguk-angguk.
“Tapi seandainya, terlambat atau telat mengembalikannya, ya, mungkin saja karena belum ada uang atau ada uang tapi terpaksa digunakan untuk yang lebih perlu. Yang penting itu tidak dibuat-buat, nah itu perlu keikhlasan dan kesabaran orang yang meminjamkan uang,” timpal Sugiadi.
“Nah, wajarkan saya memuji pak Sugiadi?,”
“Tidak pak Mariman. Pujian itu bukan untuk saya, hanya Allah SWT yang pantas dipuji karena Maha Penolong,” potong Sugiadi.
Mariman tercenung. Kagum dengan Sugiadi, temannya sejak sekolah di SMP dulu.
“Kalau pak Mariman merasa punya kewajiban terhadap saya, selain mengembalikan uang, maka saya butuh doa dari pak Mariman.”
‘Doa apa itu, pak”
“Doakan saya dan keluarga, selalu sehat dan mudah riski, gi tu lho, pak…”
“Wah, insyaallah pak Sugiadi,”
“Nah, itu baru pantas untuk saya, pak Mariman…hehehe..”
Kemudian Mariman mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Amplop berisi uang dan menyerahkannya pada Sugiadi.
“Ini, uang yang saya pinjam dan saya kembalikan hari ini meskipun sudah terlambat, pak Sugiadi." 
“Tapi kalau pak Mariman, masih perlu uang itu, pakailah kembali..”
“Oh, jangan, pak. Lain kali, kalau saya perlu bantuan pak Sugiadi, saya akan kesini lagi,”
“Baiklah kalau begitu.”
“Ya, terima kasih dan saya harus pamit pak, Sugiadi.”
Mariman bangkit dan beranjak keluar rumah Sugiadi dengan perasaan lega.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel