Cerpen: Pujian Itu Bukan untuk Saya
November 17, 2019
“Pak
Mariman terlalu berlebihan memuji saya. Itu tidak baik lo, pak…!” ujar
Sugiadi jengah. Ia merasa apa yang telah diperbuat terhadap Mariman, hanyalah
hal yang kecil dan biasa. Membantu teman yang sedang mengalami kesulitan. Lagi
pula itu sudah menjadi kewajibannya sebagai teman.
“Suatu
saat, siapa tahu saya juga mengalami kesulitan dan butuh bantuan pak Mariman,”
sambung Sugiadi kemudian.
“Tapi
kali ini saya pantas memuji kemurahan hati pak Sugiadi,” tukas Mariman. “Saya telah
dipinjamkan uang untuk keperluan sekolah anak saya. Namun terlambat saya
mengembalikan uang pinjaman itu.”
“Ah,
lupakanlah hal itu, Pak Mariman,”
“Tidak
pak Sugiadi..!”
“Wah,
minumlah dulu, entar kopi yang disediakan istri saya ini jadi dingin lo pak
Mariman.
Kedua
bersahabat itu sama-sama menyeruput kopi hitam buatan Bu Anisa, istrinya
Sugiadi.
“Saya
tidak mungkin untuk melupakannya, pak Sugiadi.” sambung Mariman. ”Saya sering
punya pengalaman buruk dalam hal pinjam-meminjam uang ini, pak. Coba pak Sugiadi bayangkan, saya pernah meminjam
uang. Kebetulan saya terlambat mengembalikannya. Memang saya tidak menjanjikan
kapan dikembalikan.”
Pak
Sugiadi garut-garut kepalanya yang tidak gatal.
“Apa
yang terjadi akhirnya? Teman itu menggembor-gemborkannya kepada orang lain
sehingga jadi viral kalau saya berhutang. Bahkan istri dan anak-anak saya jadi
tahu hal itu.”
Pak
Sugiadi menggeleng-geleng.
“Pak,
pak... Tidak baik mengungkap hal itu kembali. Setiap orang itu berbeda-beda
sifat dan karakternya.” tegur Sugiadi.
“Iya,
sih, pak. Toh, yang salah juga saya, kenapa terlambat mengembalikan uang
pinjaman. Boleh jadi, ia juga tengah mengalami kesulitan sehingga menggunakan
cara itu untuk meminta hutang kepada saya,”
“Tapi
tidak semua orang seperti itu,.” pintas Sugiadi .
“Iya,
pak. Salah satunya pak Sugiadi sendiri, hehehe…” sambut Mariman.
“Membantu
orang lain, apalagi teman, yang mengalami kesusahan. Itu menjadi amal kebaikan,
apalagi dilandasi niat yang ikhlas. Itu yang saya tahu, pak. Lagi pula saya dulu
juga sering mengalami kesulitan seperti yang pak Mariman alami,” ujar Sugiadi
mengingat masa lalunya.
Mariman
mengangguk-angguk.
“Tapi
seandainya, terlambat atau telat mengembalikannya, ya, mungkin saja karena
belum ada uang atau ada uang tapi terpaksa digunakan untuk yang lebih perlu. Yang
penting itu tidak dibuat-buat, nah itu perlu keikhlasan dan kesabaran orang yang
meminjamkan uang,” timpal Sugiadi.
“Nah,
wajarkan saya memuji pak Sugiadi?,”
“Tidak
pak Mariman. Pujian itu bukan untuk saya, hanya Allah SWT yang pantas dipuji
karena Maha Penolong,” potong Sugiadi.
Mariman
tercenung. Kagum dengan Sugiadi, temannya sejak sekolah di SMP dulu.
“Kalau
pak Mariman merasa punya kewajiban terhadap saya, selain mengembalikan uang,
maka saya butuh doa dari pak Mariman.”
‘Doa
apa itu, pak”
“Doakan
saya dan keluarga, selalu sehat dan mudah riski, gi tu lho, pak…”
“Wah,
insyaallah pak Sugiadi,”
“Nah,
itu baru pantas untuk saya, pak Mariman…hehehe..”
Kemudian
Mariman mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Amplop berisi uang dan
menyerahkannya pada Sugiadi.
“Ini,
uang yang saya pinjam dan saya kembalikan hari ini meskipun sudah terlambat,
pak Sugiadi."
“Tapi
kalau pak Mariman, masih perlu uang itu, pakailah kembali..”
“Oh,
jangan, pak. Lain kali, kalau saya perlu bantuan pak Sugiadi, saya akan kesini
lagi,”
“Baiklah
kalau begitu.”
“Ya,
terima kasih dan saya harus pamit pak, Sugiadi.”
Mariman
bangkit dan beranjak keluar rumah Sugiadi dengan perasaan lega.