Pada Miranti Itu Ada Kamu, Mas...
Januari 22, 2020
“Mas…, bisa saya bicara sebentar?” Seorang
perempuan muda berkata pelan di balik kaca loket pendaftaran, kepada Budiman
yang sedang bertugas di ruang panitia penerimaan murid baru. Mulyani, perempuan
muda yang masih cantik itu juga salah seorang calon orangtua murid baru di
sekolah itu. Sengaja Mulyani mengambil kesempatan mumpung di loket pendaftaran siswa
baru sudah agak lengang.
“Boleh
buk, boleh banget…,” sahut Budiman dari
dalam ruang panitia. Bagi Budiman, sosok Mulyani memang tidak asing lagi. Ia
adalah bekas muridnya, belasan tahun silam.
Budiman
agak kaget dipanggil dengan sebutan ’mas’. Namun perasaannya itu
disembunyikan agar tidak ketahuan oleh teman panitia lainnya.
“Tapi
tidak disini, mas Budi.” tukas Mulyani.
Budiman terdiam sejenak. Ia agak risih untuk pergi dan meninggalkan loket
penerimaan siswa baru karena memang tugasnya belum selesai.
“Saya
tahu, mas keberatan.” tebak Mulyani.
“Bukan
begitu, Yani….”
“Ya,
saya paham, mas Budi masih bertugas menerima siswa baru. Tapi tidak bisakah mas
meminta izin kepada kawan panitia dan atasan mas untuk pergi agak sejam atau
dua jam saja?” potong Mulyani menangkap keraguan Budiman.
“Baik,
Yani. Akan saya coba. Tapi bicaranya dimana?”
“Tidak
jauh koq dari sini,”
Budiman
mengangguk. Kemudian pamit pada teman sesama panitia di ruang itu untuk bangkit
dan beranjak meninggalkan ruang penerimaan siswa baru. Seterusnya meminta izin
kepada atasannya di ruang kepala sekolah.
Di
dekat gerbang keluar, Mulyani sudah menunggu. Budiman menyalakan motor dan
berangkat membawa Mulyani meninggalkan gerbang sekolah.
“Kita
bicara dimana, Yani?” tanya pak Budiman.
“Ke
kantin yang dulu pernah kita kunjungi, mas….” sahut Mulyani di belakang.
Derrrr…!!!
Darah Budiman berdesir kencang. Tangannya seakan tidak kuat untuk memegang dan
mengendalikan setang motor. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan
Mulyani dan yang lebih penting lagi apa yang akan terjadi setelah ini.
Namun
Budiman berusaha untuk mengendalikan diri dan motor yang dikendarainya.
“Mas,
saya harap anak saya satu-satunya, Miranti, dapat diterima menjadi siswa baru di
sekolah tempat mas mengajar.,” ujar Mulyani dengan suara pelan di seberang
meja.
Budiman
menatap Mulyani mencoba memahami arah ucapan Mulyani.
“Kalau
saya lihat tadi, jumlah nilai MIranti bagus dan kemungkinannya besar untuk
diterima,” sahut Budiman. Namun dalam hati ia bertanya-tanya, kalau hanya
menyampaikan ucapan itu kenapa harus ke kantin ini?
“Iya, iya mas guru…” ujar Mulyani
mengangguk-angguk.
“Lalu
masalahnya apa, Yani?” tanya Budiman tak dapat menutupi rasa penasarannya.
Mulyani
menyeruput jus mangga yang ada di hadapannya. Begitu pula Budiman.
Tenggorokannya terasa kering, jantungnya semakin bergoncang tidak normal
menunggu apa yang akan disampaikan Mulyani.
“Mas…,
ketika berhadapan dan menanyai Miranti tadi, apakah mas tidak melihat sesuatu yang
lain pada diri gadis kecil saya itu?” tanya Mulyani semakin membingungkan Budiman.
“Maksudmu?”
“Apakah
mas tidak melihat dan merasakan sesuatu, kalau pada diri Miranti ada padamu, mas?” kata Mulyani semakin serius.
Budiman
terhenyak.
Tiba-tiba
ia ingat mana kala tadi saat mencatat data calon siswa bernama Miranti. Budiman
kembali mengingat Miranti.
Kini
Budiman sadar, tadi ketika melihat wajah Miranti,
Budiman melihat sesuatu yang unik. Ya, mata dan hidung Miranti rasa-rasa mirip
dengan mata dan hidung miliknya sendiri.
“Mas,
jujurlah mas…” desak Mulyani.
“Saya
memang melihat sesuatu yang terasa unik pada Miranti. Mata dan hidugnya terasa
ada kemiripan dengan mata dan hidung saya, Yani…”
“Tentu
saja, mas. Gadis mungil dan cantik itu…," Mulyani memintas namun kalimatnya tergantung.
“Anak
saya, maksudmu?
“Iya,
mas…”
“Tapi
bukankah kamu telah menikah dengan orang lain dan berarti anak itu bukan anak
saya, Yani?”
“Supaya
mas, tahu. Setelah kejadian itu…, saya pergi jauh ke kota lain. Belum sampai
sebulan saya bertemu dengan seorang laki-laki dan bersedia menikahi saya.
Dengan
terpaksa saya membohongi status saya kepada calon suami saya itu. Dia
sudah berjanji untuk menerima saya apa adanya….” ujar Mulyani degan suara mulai
serak. Buliran bening terbit dan meleleh di pipinya yang masih mulus.
Budiman
tersentuh haru.
“Setelah
Miranti lahir, suami saya meninggalkan kami begitu saja. Saya tidak bisa
berbuat apa. Saya mengira suami saya tahu kalau anak yang saya lahirkan itu
bukan anaknya.
Sejak
itu saya takut pulang kampung dan berusaha untuk tetap bertahan hidup di kota
itu. Untung uang pemberian suami saya tabung dan dengan uang itu saya dapat
menutupi kebutuhan saya dan Miranti-sehari-hari.
Ketika
sudah merasa kuat untuk bekerja, saya bekerja di sebuah supermarket. Ketika
bekerja Miranti saya titip pada seorang perempuan yang tidak memiliki anak.
Ketika
Miranti sudah tamat SD kemarin, baru
saya berani pulang dan berencana menyekolahkan Miranti di tempat mas mengajar.…”
Budiman
menghela nafas panjang.
Ada
rasa hiba dan kasihan sekaligus bersalah tersemburat di lubuk hati Budiman yang paling
dalam.
Ia
merasa bertanggungjawab atas semua kejadian yang dialami Mulyani dan Miranti selama di perantauan. Namun disi
lain Budiman merasa tidak mungkin berbuat sesuatu kepada Mulyani untuk saat ini.
“Tak
usah cemas atas diri saya dan Miranti saat ini, mas. Waktu itu, saya tahu kalau
mas sudah beristri. Seperti itu pula saat ini.” sambung Mulyani menyusut air
bening di pipinya.
Mulyani
menatap Budiman dengan lembut. Lalu ia berkata,
“Mas,
sekarang, saya tidak akan banyak menuntut kepada mas. Nanti tolong mas jaga Miranti di
sekolah meskipun itu mas lakukan hanya sembunyi-sembunyi atau dari jauh. Hanya
itu permintaan saya,….” ujar Mulyani tersenyum namun matanya kembali
berkaca-kaca.
“Apakah
Miranti tahu semua ini?”
“Tidak
mas. Saya masih merahasiakannya. Dari dulu saya berusaha agar nama baik mas
tidak tercemar. Saya sadar mas, sebagai murid saya yang telah memulai kisah ini
duluan sehingga melibatkan diri mas sendiri.
”Baiklah
Yani…. Saya akan memenuhi permintaanmu. Tapi seandainya tanpa kamu minta pun
saya akan melakukannya karena sekarang saya telah mengetahui siapa Miranti,”
“Terima
kasih, mas..”
“Iya.Tapi…,
saya harap, tidak ada seorang pun yang tahu tetang Miranti sebenarnya, Yani.”
“Saya
paham, mas…”
Budiman
memandang wajah Mulyani lekat-lekat. Mereka bertatapan penuh makna, begitu
lama.
“Oh…,
iya… mas, silahkan mas duluan ke tempat tugas mas. Saya tunggu Miranti disini.
Miranti bisa mengendarai motor,” ujar Mulyani ketika tersadar dalam buaian
mimpi masa lalu.
Budiman
mengangguk seraya tersenyum, penuh arti. Kemudian menghilang bersama motornya
di tikungan .***