Pada Miranti Itu Ada Kamu, Mas...

 “Mas…, bisa saya bicara sebentar?” Seorang perempuan muda berkata pelan di balik kaca loket pendaftaran, kepada Budiman yang sedang bertugas di ruang panitia penerimaan murid baru. Mulyani, perempuan muda yang masih cantik itu juga salah seorang calon orangtua murid baru di sekolah itu. Sengaja Mulyani mengambil kesempatan mumpung di loket pendaftaran siswa baru sudah agak lengang.

“Boleh buk, boleh  banget…,” sahut Budiman dari dalam ruang panitia. Bagi Budiman, sosok Mulyani memang tidak asing lagi. Ia adalah bekas muridnya, belasan tahun silam.
Budiman agak kaget dipanggil dengan sebutan ’mas’. Namun perasaannya itu disembunyikan agar tidak ketahuan oleh teman panitia lainnya.
“Tapi tidak disini, mas Budi.” tukas Mulyani.
Budiman terdiam sejenak. Ia agak risih untuk pergi dan meninggalkan loket penerimaan siswa baru karena memang tugasnya belum selesai.
“Saya tahu, mas keberatan.” tebak Mulyani.
“Bukan begitu, Yani….”
“Ya, saya paham, mas Budi masih bertugas menerima siswa baru. Tapi tidak bisakah mas meminta izin kepada kawan panitia dan atasan mas untuk pergi agak sejam atau dua jam saja?” potong Mulyani menangkap keraguan Budiman.
“Baik, Yani. Akan saya coba. Tapi bicaranya dimana?”
“Tidak jauh koq dari sini,”
Budiman mengangguk. Kemudian pamit pada teman sesama panitia di ruang itu untuk bangkit dan beranjak meninggalkan ruang penerimaan siswa baru. Seterusnya meminta izin kepada atasannya di ruang kepala sekolah.
Di dekat gerbang keluar, Mulyani sudah menunggu. Budiman menyalakan motor dan berangkat membawa Mulyani meninggalkan gerbang sekolah.
“Kita bicara dimana, Yani?” tanya pak Budiman.
“Ke kantin yang dulu pernah kita kunjungi, mas….” sahut Mulyani di belakang.
Derrrr…!!! Darah Budiman berdesir kencang. Tangannya seakan tidak kuat untuk memegang dan mengendalikan setang motor. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan Mulyani dan yang lebih penting lagi apa yang akan terjadi setelah ini.
Namun Budiman berusaha untuk mengendalikan diri dan motor yang dikendarainya.
“Mas, saya harap anak saya satu-satunya, Miranti, dapat diterima menjadi siswa baru di sekolah tempat mas mengajar.,” ujar Mulyani dengan suara pelan di seberang meja.
Budiman menatap Mulyani mencoba memahami arah ucapan Mulyani.
“Kalau saya lihat tadi, jumlah nilai MIranti bagus dan kemungkinannya besar untuk diterima,” sahut Budiman. Namun dalam hati ia bertanya-tanya, kalau hanya menyampaikan ucapan itu kenapa harus ke kantin ini?
 “Iya, iya mas guru…” ujar Mulyani mengangguk-angguk.
“Lalu masalahnya apa, Yani?” tanya Budiman tak dapat menutupi rasa penasarannya.
Mulyani menyeruput jus mangga yang ada di hadapannya. Begitu pula Budiman. Tenggorokannya terasa kering, jantungnya semakin bergoncang tidak normal menunggu apa yang akan disampaikan Mulyani.
“Mas…, ketika berhadapan dan menanyai Miranti tadi, apakah mas tidak melihat sesuatu yang lain pada diri gadis kecil saya itu?” tanya Mulyani semakin membingungkan Budiman.
“Maksudmu?”
“Apakah mas  tidak melihat dan merasakan sesuatu, kalau pada diri Miranti ada padamu, mas?” kata Mulyani semakin serius.
Budiman terhenyak.
Tiba-tiba ia ingat mana kala tadi saat mencatat data calon siswa bernama Miranti. Budiman kembali mengingat Miranti.
Kini Budiman  sadar, tadi ketika melihat wajah Miranti, Budiman melihat sesuatu yang unik. Ya, mata dan hidung Miranti rasa-rasa mirip dengan mata dan hidung miliknya sendiri.
“Mas, jujurlah mas…” desak Mulyani.
“Saya memang melihat sesuatu yang terasa unik pada Miranti. Mata dan hidugnya terasa ada kemiripan dengan mata dan hidung saya, Yani…”
“Tentu saja, mas. Gadis mungil dan cantik itu…," Mulyani memintas namun kalimatnya tergantung.
“Anak saya, maksudmu?
“Iya, mas…”
“Tapi bukankah kamu telah menikah dengan orang lain dan berarti anak itu bukan anak saya, Yani?”
“Supaya mas, tahu. Setelah kejadian itu…, saya pergi jauh ke kota lain. Belum sampai sebulan saya bertemu dengan seorang laki-laki dan bersedia menikahi saya.
Dengan terpaksa saya membohongi status saya kepada calon suami saya itu. Dia sudah berjanji untuk menerima saya apa adanya….” ujar Mulyani degan suara mulai serak. Buliran bening terbit dan meleleh di pipinya yang masih mulus.
Budiman tersentuh haru.
“Setelah Miranti lahir, suami saya meninggalkan kami begitu saja. Saya tidak bisa berbuat apa. Saya mengira suami saya tahu kalau anak yang saya lahirkan itu bukan anaknya.
Sejak itu saya takut pulang kampung dan berusaha untuk tetap bertahan hidup di kota itu. Untung uang pemberian suami saya tabung dan dengan uang itu saya dapat menutupi kebutuhan saya dan Miranti-sehari-hari.
Ketika sudah merasa kuat untuk bekerja, saya bekerja di sebuah supermarket. Ketika bekerja Miranti saya titip pada seorang perempuan yang tidak memiliki anak.
Ketika Miranti sudah tamat SD kemarin,  baru saya berani pulang dan berencana menyekolahkan Miranti di tempat mas mengajar.…”
Budiman menghela nafas panjang.
Ada rasa hiba dan kasihan sekaligus bersalah  tersemburat di lubuk hati Budiman yang paling dalam.
Ia merasa bertanggungjawab atas semua kejadian yang dialami Mulyani  dan Miranti selama di perantauan. Namun disi lain Budiman merasa tidak mungkin berbuat sesuatu kepada Mulyani untuk saat ini.
“Tak usah cemas atas diri saya dan Miranti saat ini, mas. Waktu itu, saya tahu kalau mas sudah beristri. Seperti itu pula saat ini.” sambung Mulyani menyusut air bening di pipinya.
Mulyani menatap Budiman dengan lembut. Lalu ia berkata,
“Mas, sekarang, saya tidak akan banyak menuntut kepada mas. Nanti tolong mas jaga Miranti di sekolah meskipun itu mas lakukan hanya sembunyi-sembunyi atau dari jauh. Hanya itu permintaan saya,….” ujar Mulyani tersenyum namun matanya kembali berkaca-kaca.
“Apakah Miranti tahu semua ini?”
“Tidak mas. Saya masih merahasiakannya. Dari dulu saya berusaha agar nama baik mas tidak tercemar. Saya sadar mas, sebagai murid saya yang telah memulai kisah ini duluan sehingga melibatkan diri mas sendiri.
”Baiklah Yani…. Saya akan memenuhi permintaanmu. Tapi seandainya tanpa kamu minta pun saya akan melakukannya karena sekarang saya telah mengetahui siapa Miranti,”
“Terima kasih, mas..”
“Iya.Tapi…, saya harap, tidak ada seorang pun yang tahu tetang Miranti sebenarnya, Yani.”
“Saya paham, mas…”
Budiman memandang wajah Mulyani lekat-lekat. Mereka bertatapan penuh makna, begitu lama.
“Oh…, iya… mas, silahkan mas duluan ke tempat tugas mas. Saya tunggu Miranti disini. Miranti bisa mengendarai motor,” ujar Mulyani ketika tersadar dalam buaian mimpi masa lalu.
Budiman mengangguk seraya tersenyum, penuh arti. Kemudian menghilang bersama motornya di tikungan .***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel