Mariani, Sampai Ada yang Menghentikannya
Januari 21, 2020
Dulu Mariani meminta agar kami tidak bertemu
lagi.
Aku memenuhi permintaannya walaupun dengan hati kecewa. Keputusannya terasa
mendadak dan tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mariani telah berubah drastis. Masih
kuingat ketegaran hati Mariani dalam mengambil keputusan untuk mengakhiri
hubungan ini.
“Mas,
mari kita akhiri semua ini. Kita tidak usah bertemu lagi. Saya dan mas sudah
punya keluarga. Memang saya akui, kita mengalami nasib yang sama dalam menjalani
hidup berumah tangga. Namun kalau diteruskan juga pertemuan-pertemuan ini akan
membuat situasi keluarga masing-masing menjadi lebih runyam.”
Aku
terhenyak mendengar ucapan Mariani. Kupandangi wajahnya yang nampak masih muda
dan cantik. Berusaha memahami kata-kata yang terlontar dari bibirnya yang
mungil.
Ternyata
Mariani memang serius. Serius dengan ucapannya untuk mengakhiri hubungan
tersembunyi ini.
“Baik..baik
Mariani.” Jawabku kemudian sambil mengangguk-angguk setuju.
“Terima
kasih pengertianmu mas,”
“Ya.
Tapi aku ingin tahu mengapa semua ini terjadi secara mendadak. Saya tidak
menyangka pertemuan ini adalah pertemuan kita yang terakhir, Mariani.” tukasku.
“Bukan
mendadak mas. Saya yakin mas paham dengan maksud saya tadi,”
“Mariani akan meninggalkan saya?”
“Kalaupun
benar tetapi masih ada istri dan lima anaknya mas Ryan yang menunggu di rumah.
Saya juga masih ada tiga anak yang saya temui di rumah.”
Itulah
pertemuan terakhir aku dan Mariani di sebuah Kafe sederhana.
Tapi
sekarang…, setelah sebulan berlalu, Mariani tiba-tiba mengajakku kembali untuk
bisa ketemuan di tempat ini lagi.
Dari
tadi Mariani diam saja. Mama tiga anak itu tidak berbicara apapun. Ia malah
asyik mengaduk-aduk jus alpukat di gelas minumannya. Aku jadi bingung
dengan sikapnya.
“Ani,
kenapa kamu diam saja?”
Mariani
menundukkan wajah. Seakan tak berani menatap wajahku.
“Kalau
kamu diam, buat apa kamu nelpon minta saya ketemuan lagi disini! Bukankah kamu dulu
sudah mengakhiri pertemuan ini?”
“Mas…”
akhirnya kata itu keluar dari bibirnya.
“Iya,
saya masih disini. Masih di hadapanmu. Ada apa?”
“Bagaimana
keluargamu, mas?” tanya Mariani masih menundukkan kepala.
“Tidak
ada perubahan, masih seperti dulu,” sahutku tenang.
“Saya…saya…tidak
bisa melupakan mas….” Mariani berkata tersendat-sendat. “Tapi apakah mas sudah
melupakan saya?” sambung Mariani.
Aku
tertawa kecil.
“Lho?
Mas ngetawain saya?” Mariani menoleh sekilas.
“Enggak
koq. Mana mungkin saya melupakanmu Mariani. Meskipun sebulan lalu sudah melarang
saya bertemu denganmu,”
“Benarkah
itu, mas?” Mariani menatap dan memperhatikan keseriusanku.
Aku
mengangguk.
“Mas,
akhirnya saya sadar. Saya sangat membutuhkan mas dalam menjalani hidup dan
kehidupan saya meskipun mas Riyan tidak mungkin saya miliki seutuhnya. Biarlah
kehidupan kita ini berjalan apa adanya.”
“Ya,
kamu benar Mariani. Biarlah semua ini berjalan apa adanya sampai suatu saat ada
yang menghentikannya.” sambungku seraya menatap wajah manis mama beranak tiga
itu.***