Bocah Malang di Penghujung Musim Rambutan
Februari 14, 2020
Bocah malang di penghujung musim rambutan – Hujan
yang turun di sore itu tidak menyurutkan tekad bocah-bocah bertelanjang dada
dalam menjuluk buah rambutan di pohonnya. Alat penjuluk yang mereka gunakan apa
adanya. Kayu atau apa saja yang bisa mereka jadikan untuk menurunkan buah rambutan di penghujung musimnya.
Buah rambutan itu tidak berapa biji lagi yang tersisa karena sudah dipanen pemiliknya. Kalau pun ada yang tertinggal, itupun sudah tidak bagus karena sudah kelewat matang di tangkainya. Ada juga buah
rambutan yang masih terlihat muda dengan kulit berwarna hijau dan buah gepeng
sekalipun, tak luput dari sasaran kayu penjuluk para bocah di tengah turunnya hujan.
Marjohan
diam-diam mengamati semua itu dari balik jendela kamarnya yang tidak begitu
jauh dari pohon rambutan yang diserbu bocah-bocah malang itu. Ia sengaja tidak
menasehati apalagi menegur bocah laki-laki dan perempuan itu.
Pemandangan
yang disaksikannya saat ini menjadi
momen menarik untuk dipelajarinya. Marjohan pernah mendengar kalau orang, apalagi
bocah-bocah, begitu ngiler ketika melihat buah rambutan. Bahkan yang separuh masak pun sudah menimbulkan keinginan untuk mengambil dan memakannya.
Buktinya
di saat hujan pun para bocah itu masih berselera untuk mengambil rambutan
dan memakannya.
Memang, Marjohan mengetahui keadaan orangtua para bocah yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, yang tengah berjuang menjuluk buah rambutan di tengah hujan itu. Orangtua mereka bukanlah
orang yang tak punya uang, apalagi hanya untuk membeli beberapa kiloan buah
rambutan yang bagus untuk anaknya.
Di
sisi lain Marjohan memang memahami kalau bocah-bocah itu termasuk malang. Kurang
mendapat perhatian dari para orangtuanya karena terlalu sibuk menjalani kehidupan. Ada juga di antara mereka
dari keluarga yang tidak utuh lagi. Orangtua mereka berpisah dan sang ibu
menikah lagi sehingga sudah harus hidup bersama ayah tiri saat mereka masih bocah....
“Hei
bro…!!! Lagi memerhatikan apa, tuh?” tanya Junai tiba-tiba muncul dalam kamar
kos mereka. Namun Marjohan tidak menyahut. Perhatiannya terus tertuju pada
bocah malang berjuang menurunkan buah rambutan di tengah hujan yang tak lagi
terlalu deras.
Junaid
mengangguk-angguk, setelah mengetahui apa yang menjadi buah perhatian
sahabatnya itu. Lalu Junaid ikut mengamati para bocah yang mengambil buah
rambutan dengan penjuluk apa adanya.
“Kenapa
mereka tidak dinasehati, atau ditegur, bro…. Kasihan mereka, bisa sakit
hujan-hujan begini mengambil buah rambutan?” tanya Junaid kemudian.
“Rumit
Bro..” sahut Marjohan tanpa menoleh.
“Rumit
gmana, bro?”
Marjohan
menoleh ke arah Junaid. Ia kini duduk di pinggiran tempat tidur.
“Di
kampung ini serba rumit untuk menegur apalagi memarahi anak orang, meskipun itu
demi kebaikannya. Kalau sempat ditegur, apalagi dimarahi, malah kita yang bakal
dimarahi oleh orangtua mereka. Orangtuanya
bisa salah paham. Celakanya, orangtua mereka begitu mudah percaya kepada
anaknya ketimbang orang lain yang menegur atau memarahai anaknya.” terang Marjohan.
Junaid
yang barusan kos di tempat itu mengangguk paham.
“Kalau
ada apa-apanya dengan bocah-bocah itu saat menjuluk buah rambutan di tengah
hujan ini, baru diberitahu orangtuanya.
Itu sudah bagus,”
Lagi-lagi
Junaid mengangguk.
“Kamu
sudah makan, bro?” tanya Junaid kemudian mengalihkan perhatian Marjohan.
“Belum.
Tapi aku memang sudah lapar, bro,” balas Marjohan.
Dua
bersahabat itu beranjak menuju ruang makan di dapur rumah kos yang mereka
tempati itu.
Belum
beberapa suap nasi masuk ke mulut mereka, terdengar suara bocah menjerit dan menangis
kesakitan.
Marjohan
dan Junaid terdiam.
“Barangkali
bocah itu ada yang memanjat pohon rambutan dan terjatuh,” gumam Junaid.
Hujan
maish belum reda. Namun jeritan tangis sang bocah terdengar semakin jelas. Marjohan
dan Junai menutup piring nasi dan bergegas menuju halaman rumah kosnya.
“Kamu
kenapa, dek?” tanya Junaid kepada bocah yang mengerang kesakitan.
“Digigit
ngengat, om…” pintas temannya.
“Antarkan
teman kalian ini ke rumahnya. Bahaya tuh,” ujar Marjohan.
Bocah-bocah
malang itu akhirnya bubar dengan membawa temannya yang disengat hewan penggigit
yang bersarang di pohon rambutan di depan rumah kos itu.
“Nah, kalau sudh seperti itu baru orangtua mereka percaya, percaya anaknya digigit ngengat karena mengambil buah rambutan orang lain” ujar Marjohan.
“Tapi
kasihan juga ya?”
“Ah,
sudahlah…Mari dilanjutkan makan siangnya!” ujara Marjohan mengingatkan.***