Bocah Malang di Penghujung Musim Rambutan

Bocah malang di penghujung musim rambutan  Hujan yang turun di sore itu tidak menyurutkan tekad bocah-bocah bertelanjang dada dalam menjuluk buah rambutan di pohonnya. Alat penjuluk yang mereka gunakan apa adanya. Kayu atau apa saja yang bisa mereka jadikan untuk menurunkan buah rambutan di penghujung musimnya.

Buah rambutan itu tidak berapa biji lagi yang tersisa karena sudah dipanen pemiliknya. Kalau pun ada yang tertinggal, itupun sudah tidak bagus karena sudah kelewat matang di tangkainya. Ada juga buah rambutan yang masih terlihat muda dengan kulit berwarna hijau dan buah gepeng sekalipun, tak luput dari sasaran kayu penjuluk para bocah di tengah turunnya hujan.

Marjohan diam-diam mengamati semua itu dari balik jendela kamarnya yang tidak begitu jauh dari pohon rambutan yang diserbu bocah-bocah malang itu. Ia sengaja tidak menasehati apalagi menegur bocah laki-laki dan perempuan itu.

Pemandangan yang disaksikannya saat ini  menjadi momen menarik untuk dipelajarinya. Marjohan pernah mendengar kalau orang, apalagi bocah-bocah, begitu ngiler ketika melihat buah rambutan.  Bahkan yang separuh masak pun sudah menimbulkan keinginan untuk mengambil dan memakannya.

Buktinya di saat hujan pun para bocah itu masih berselera untuk mengambil rambutan dan memakannya.

Memang, Marjohan mengetahui keadaan orangtua para bocah yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, yang tengah berjuang menjuluk buah rambutan di tengah hujan itu. Orangtua mereka bukanlah orang yang tak punya uang, apalagi hanya untuk membeli beberapa kiloan buah rambutan yang bagus untuk anaknya.

Di sisi lain Marjohan memang memahami kalau bocah-bocah itu termasuk malang. Kurang mendapat perhatian dari para orangtuanya karena terlalu sibuk menjalani kehidupan. Ada juga di antara mereka dari keluarga yang tidak utuh lagi. Orangtua mereka berpisah dan sang ibu menikah lagi sehingga sudah harus hidup bersama ayah tiri saat mereka masih bocah....

“Hei bro…!!! Lagi memerhatikan apa, tuh?” tanya Junai tiba-tiba muncul dalam kamar kos mereka. Namun Marjohan tidak menyahut. Perhatiannya terus tertuju pada bocah malang berjuang menurunkan buah rambutan di tengah hujan yang tak lagi terlalu deras.

Junaid mengangguk-angguk, setelah mengetahui apa yang menjadi buah perhatian sahabatnya itu. Lalu Junaid ikut mengamati para bocah yang mengambil buah rambutan dengan penjuluk apa adanya.

“Kenapa mereka tidak dinasehati, atau ditegur, bro…. Kasihan mereka, bisa sakit hujan-hujan begini mengambil buah rambutan?” tanya Junaid kemudian.

“Rumit Bro..” sahut Marjohan tanpa menoleh.

“Rumit gmana, bro?”

Marjohan menoleh ke arah Junaid. Ia kini duduk di pinggiran tempat tidur.

“Di kampung ini serba rumit untuk menegur apalagi memarahi anak orang, meskipun itu demi kebaikannya. Kalau sempat ditegur, apalagi dimarahi, malah kita yang bakal dimarahi oleh orangtua mereka. Orangtuanya bisa salah paham. Celakanya, orangtua mereka begitu mudah percaya kepada anaknya ketimbang orang lain yang menegur atau memarahai anaknya.” terang Marjohan.

Junaid yang barusan kos di tempat itu mengangguk paham.

“Kalau ada apa-apanya dengan bocah-bocah itu saat menjuluk buah rambutan di tengah hujan ini,  baru diberitahu orangtuanya. Itu sudah bagus,”

Lagi-lagi Junaid mengangguk.

“Kamu sudah makan, bro?” tanya Junaid kemudian mengalihkan perhatian Marjohan.

“Belum. Tapi aku memang sudah lapar, bro,” balas Marjohan.

Dua bersahabat itu beranjak menuju ruang makan di dapur rumah kos yang mereka tempati itu.

Belum beberapa suap nasi masuk ke mulut mereka,  terdengar suara bocah menjerit dan menangis kesakitan.

Marjohan dan Junaid terdiam.

“Barangkali bocah itu ada yang memanjat pohon rambutan dan terjatuh,” gumam Junaid.

Hujan maish belum reda. Namun jeritan tangis sang bocah terdengar semakin jelas. Marjohan dan Junai menutup piring nasi dan bergegas menuju halaman rumah kosnya.

“Kamu kenapa, dek?” tanya Junaid kepada bocah yang mengerang kesakitan.

“Digigit ngengat, om…” pintas temannya.

“Antarkan teman kalian ini ke rumahnya. Bahaya tuh,” ujar Marjohan.

Bocah-bocah malang itu akhirnya bubar dengan membawa temannya yang disengat hewan penggigit yang bersarang di pohon rambutan di depan rumah kos itu.

“Nah, kalau sudh seperti itu baru orangtua mereka percaya, percaya anaknya digigit ngengat karena mengambil buah rambutan orang lain” ujar Marjohan.

“Tapi kasihan juga ya?”

“Ah, sudahlah…Mari dilanjutkan makan siangnya!” ujara Marjohan mengingatkan.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel