Cerita Pendek Beras di Parasan Amak
Mei 21, 2020
"Hari
ini keatas, tidak akan ada lagi orang yang akan menabung beras sebagaimana yang
Amak lakukan hari ini dan sebelum-sebelumnya." Begitu ucapan ibu kepada saya suatu ketika.
Karena
waktu itu saya masih kecil, duduk di awal bangku SD, saya belum mengerti maksud
beliau. Saya hanya mengangguk-angguk kepada ibu yang telah melahirkan dan saya panggil
dengan sebutan Amak itu.
Dulu,
setiap akan menanak nasi, Amak saya mengambil beras yang disimpan dalam suatu
wadah yang disebut parasan.
Parasan adalah suatu
belanga besar yang terbuat dari tanah liat yang fungsinya memang untuk
menyimpan beras dan ditaruh di bawah tempat tidur.
Amak
selalu mengambil beras dengan niru
karena setelah itu beras yang ditakar dengan alat cupak akan ditampi supaya bersih dari atah dan pasir yang mungkin masih terbawa saat menumbuk padi di
lesung atau kincir penumbuk padi.
Amak
memang mahir menampi beras sehingga bersih dan atah pun bisa tersisih dari beras sehingga
mudah dikutip.
Tak ada beras yang terbuang saat menampi. Dan kata Amak, beras
tak boleh terbuang sebutir pun. Mungkin yang sebutir itu akan jadi nasi dan itu
yang akan mengenyangkan perut!
Usai
ditampi, sebelum memasukkan ke dalam periuk penanak nasi, Amak saya selalu
mengambil beras itu, satu atau dua genggaman tangan. Kemudian memindahkannya ke
dalam wadah bambu besar sebagai tabung beras. Amak bilang, untuk tabungan
beras.
Sekarang,
zaman sudah berubah, serba canggih kata orang. Saya mulai dapat memahami hal-hal
bersifat tradisional yang dilakukan Amak saya dulu.
Menabung
tidak hanya dalam bentuk uang atau emas dan perak. Menabung beras bukan
mustahil untuk diterapkan juga saat ini. Apalagi dalam kondisi ekonomi semakin
sulit.
Lihat juga : Cerpen : Beruk Gedang
Amak
juga telah mengajari saya filosofi agar tidak menyia-nyiakan padi, beras atau
nasi sebutir pun. Karena kita tidak tahu butir padi, beras atau nasi mana yang
paling membuat perut kenyang dan mendatangkan berkah.***