Cerita Pendek : Anak Pisang

"Duk dik, dak dik duk, dik dak dik.. .ruk…!" Di tengah hari yang panas dan gerah itu terdengar bunyi telapak kaki kuda menapaki jalan sempit bercadas. Seekor kuda bertubuh kekar dan kuat serta berbulu kecoklatan itu dengan enteng menarik bendi yang dihias bagus dengan warna dominan merah dan kuning.

Di kiri dan kanan jalan kecil dan berliku terhampar sawah dengan padi muda yang menghijau. Kuda bendi itu akan membawa kusir dan penumpangnya dari pusat nagari menuju jorong pelosok di kaki bukit sebelah barat.

Seorang perempuan muda mengenakan kacamata rayben hitam duduk di sebelah kiri bendi sambil berkipas-kipas. Sementara tempat duduk sebelahnya dipenuhi oleh koper dan barang bawaannya.

Pak Said Samsul, sang kusir bendi, dari tadi berulangkali melirik penumpang satu-satunya itu lewat kaca hias yang ada di bagian bawah atap bendi. Rasanya gadis muda bergaya mentereng ini belum pernah dilihat, apalagi menumpang bendinya sebelum ini.

Kusir bendi yang belum terlalu tua itu penasaran dan ingin tahu siapa geragan gadis muda yang cantik ini. Dan hendak ke rumah siapa tujuannya di Jorong Kaki Bukit.

Sang kusir adalah warga asli Jorong Kaki Bukit. Tentu saja ia mengetahui semua warga yang ada di jorong terisolir itu. Apalagi pekerjaannya seorang kusir bendi, saban hari mengantar jemput warga jorong menuju pusat nagari.

Tak terasa sudah sampai pada areal perumahan penduduk di Jorong Kaki Bukit setelah melewati jalan panjang dari pusat nagari.

Rasa penasaran pak Said Samsul belum bisa dibendung. Ia semakin kepo, ingin tahu siapa dan ke rumah siapa tujuan gadis muda yang bergaya orang kota itu.

Piak, ini sudah sampai di Jorong Kaki Bukit. Si Upiak mau ke rumah siapa sebenarnya?” tanya pak Said Samsul setelah menghentikan bendinya menjelang pertigaan jalan di Jorong Kaki Bukit.

“Maaf, pak. Saya tidak tahu dimana rumah orangtuanya almarhum papa saya. Tapi papa pernah bilang di Jorong Kaki Bukit  ini,” sahutnya kebingungan.

Pak Said geleng-geleng kepala. Merasa heran.

“Tolong buka kaca matamu itu, Piak!” tegur pak Said Samsul kemudian. “Di kampung Minangkabau ini tak sopan berbicara dengan orangtua dengan gaya seperti itu, Piak…”.

“Oh ya, maaf ya, Pak..” ujarnya sembari membuka kaca mata rayben hitamnya.

Kini jelas terlihat jelas wajah gadis rantau yang berpenampilan mentereng itu. Cantik luar biasa. Hidungnya mancung matanya bulat hitam. Kulitnya putih bersih.

“Sebenarnya kamu ini anaknya siapa, Piak.  Dan apa tujuan kamu ke jorong ini jauh-jauh dari kota?” tanya pak Said Samsul kemudian masih melirik pada kaca hias bendi.

“Saya anaknya almarhum papa Budiman, pak… “ jawab gadis mirip orang Manado itu.

“Budiman?” Pak Said tersedak.

“Iya, pak…”

“Budiman Khairul?”

‘Benar, pak. Bapak tahu rumah orangtua papanya saya itu?”

Kini pak Said Samsul tidak lagi melihat gadis muda itu lewat kaca yang dipasang di bendi. Ia menoleh ke arah gadis muda, penumpang yang membuatynya penasaran itu.

“Masyaallah, Piak…. Si Budiman Khairul, almarhum itu adik kandung istri saya. Mungkinkah kamu yang bernama Grace Anita?” tebak pak Said Samsul. 

Grace mengangguk.

Grace merasa lega. Ternyata dirinya menaiki bendi pamannya sendiri. Grace merasa tak perlu lagi was-was bila telah sampai di rumah orangtua almarhum papanya.

“Iya, Paman..” sahut Grace sembari meraih tangan pak Said Samsul. Kemudian menundukkan kepala mencium tangan sang kusir, yang kini dipanggilnya paman.

“Kalau begitu paman antarkan saja kamu langsung ke rumah paman.” ujar pak Said Samsul seraya menyuruh jalan kuda bendinya.

Khadijah, istrinya pak Said Samsul, tercengang melihat seorang gadis muda dan cantik turun dari bendi di halaman rumahnya.

“Buk, kesini buk! Ini Grace, anaknya almarhum Budiman adikmu…” seru Pak Said Samsul kepada istrinya.

“Masya Allah…rancak bana anak si Budiman ko lai…” Bu Khadijah berseru seraya menyambut uluran tangan Grace.

"Ayo masuk, nak...” ujar bu Khadijah.

“Hm, Bapak mau narik dulu ya, buk. Urus si Grace anak pisangmu ini, ya?” ujar Pak Said Samsul seraya kembali ke bendi dan pergi menarik.

“Iya, pak. Hati-hati…” seru bu Khadijah.

“Di Minangkabau ini, kamu adalah anak pisang kami.” tutur bu Khadijah kepada Grace Anita “

Kemudian bu Khadijah bercerita panjang kepada Grace Anita tentang hubungan kekerabatan di Minangkabau, anak pisang dan bako.

Anak pisang adalah salah satu bentuk hubungan kekerabatan di Minangkabau akibat suatu perkawinan. Keturunan dari kaum laki-laki inilah yang disebut anak pisang.

“Sedangkan anak pisang berakibat adanya kekerabatan bako. Bako adalah pihak saudara dari almarhum papamu...” ujar Bu Khadijah memberi penjelasan pada Grace Anita.

“Oh, begitu ya buk,” kata Grace mengangguk paham. "Soalnya dulu papa juga pernah bilang seperti itu tapi belum mengerti Namun setelah menjalaninya dan mendapat informasi langsung dari ibuk, saya jadi paham..."

“Hm, bagus kalau begitu, dan sekarang kamu panggil Ibu dengan sebutan Mandeh. Mandeh adalah panggilan anak pisang kepada saudara perempuan almarhum papamu. 

Dan Mandeh akan memanggil kamu dengan Ita. Orang di jorong sini akan lebih akrab dengan panggilan Ita kepadamu. Kamu setuju?”
Lihat juga : Bimbinglah Aku ke Jalan-NYa
“Setuju saja, mandeh…” sahut Ita mengangguk.*** 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel