Cerpen : Syaratnya Jangan Pakai Masker

Pagi itu, seorang pria paruh baya tampak berjalan dengan langkah tegap meskipun tanpa alas kaki. Menapaki jalan bercadas dan berkerikil. Sepertinya telapak kakinya sudah tebal dan kebal sehingga tidak lagi merasakan sakit.

Pak Sulaiman, pria paruh baya itu, memang masuk kerja mulai hari itu. Hari pertama kerja secara normal usai bulan puasa Ramadhan.

“Hari pertama kerja harus bersemangat karena hari pertama akan menentukan hari-hari kerja berikutnya!” pak Sulaiman membatin.  

Ia mengenakan pakaian seragam harian khas yang biasa dipakainya selama ini ke sawah. Pakaian seragam yang pasti berbeda dengan orang yang bekerja di kantor.

Baju dan celana berwarna hitam, nyaris seperti seorang pendekar Minangkabau. Akan tetapi kostum yang dikenakan pak Sulaiman terlihat sudah mulai kusam diterpa cahaya matahari dan dimakan oleh waktu.

Kepalanya tertutup oleh topi pandan lebar. Pelindung dari terpaan cahaya matahari dan hujan. Sementara tangan kanannya memegang tangkai cangkul yang disandang di bahu sebelah kanannya.

Cangkul adalah properti wajib yang dibawa pak Sulaiman dalam melaksanakan tugasnya sebagai buruh tani. Mungkin sama wajibnya dengan pena atau laptop bagi seorang pekerja di perkantoran yang harus dibawa setiap hari....

Pak…! Tunggu pak…!

Pak Sulaiman menghentikan langkahnya ketika mendengar suara orang memanggilnya. Kemudian menoleh ke belakang melihat siapa gerangan yang telah menghentikan langkahnya.

Ternyata seorang anak muda dengan mulut dan hidung tertutup oleh masker pelindung. Ia bergegas menyusul dan mendekati pak Sulaiman.

Meskipun ditutupi masker pelindung, petani dengan lima anak itu dapat mengenal anak muda yang kini melangkah ke arahnya.

Buyung yang merantau ke Jakarta berhasil keluar dari ibu kota itu.  Kini ia terperangkap di kampung. Tidak boleh lagi kembali ke Jakarta karena pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar.

“Ada apa Buyung?” tanya pak Sulaiman.

“Aku ikut ke sawah di tempat bapak bekerja.” sahutnya dengan napas terengah engah. Itu terlihat dengan jelas dari masker yang dikenakannya kembang kempis oleh tiupan nafasnya.

Pak Sulaiman hanya mengangguk.  Meneruskan perjalanan dan dikuti oleh Buyung yang berjalan di samping kirinya.

“Bapak tidak mengenakan masker?” iseng Buyung bertanya, melirik ke wajah pak Sulaiman sembari mengiringi langkah kakinya.

Pak Sulaiman hanya menyeringai geli setelah menoleh sekilas. Lalu balik bertanya, “Emangnya, petani ke sawah juga harus pakai masker?”

Buyung tersentak. Merasa malu sendiri. Tanpa menjawab pertanyaan pak Sulaiman lagi, spontan ia melorotkan masker pelindung sehingga masker itu kini terkalung di lehernya.

“Buyung, buyung…” pak Sulaiman geleng-geleng kepala. “Bekerja di sawah, seperti di kampung kita ini, belum perlu mengenakan masker meskipun dalam era new normal setelah pemberlakuan sosial berskala besar.” ujarnya kemudian.

Lagi pula bapak bekerja hanya sendirian koq di sawah buk Nurmima,” pak Sulaiman menimpali kemudian.

“Lho? Sepertinya bapak tahu juga soal New Normal, pemberlakuan social berskala besar…?”

“Ya, tahu dong. Walaupun bapak buruh tani dan sekolah hanya tamat SMP tapi tiap hari bapak browsing internet di rumah.

Membaca info terkini tentang virus Corona melaui portal berita nasional. Di televisi juga disiarkan informasi tentang wabah virus Corona dan kebijakan pemerintah dalam mencegah Covid-19,”

Buyung berdecak kagum.

“Makanya bapak pergi ke sawah tidak memakai masker. Tapi kalau bepergian ke tempat umum, ya harus mengenakan masker karena itu protokol kesehatan dalam new normal,” sambung pak Sulaiman.

Tanpa terasa sudah sampai di persimpangan jalan. Pak Sulaiman menikung ke kanan dan menapaki pematang sawah. Buyung hanya mengekor di belakang.

“Hati-hati, kamu orang yang biasa di rantau, jangan-jangan sudah gamang berjalan di pematang sawah,” sindir Pak Sulaiman.

“Ya, enggak lah pak. Saya dulunya juga dibesarkan di kampung ini dan diajak ke sawah oleh orangtua saya.” balas Buyung.

Namun tidak berapa langkah menapaki pematang sawah, Buyung terpelset setelah menginjak bagian pematang sawah yang lunak.

“Nah, apa bapak bilang…”

“Hehehe…” Buyung nyengir.

Pak Sulaiman istirahat sejenak sesampai di dangau sawah. Kemudian bersiap-siap memulai pekerjaan mencangkul sawah buk Nurmima sang majikannya.

“Pak…, besok ajak saya mencangkul sawah disini, ya pak.” ujar Buyung setengah memelas.

“Apa kamu kuat untuk bekerja mencangkul sawah seharian…?” tanya pak Sulaiman melihat keseriusan Buyung.

“Saya usahakan, pak. Tidak enak rasanya saya ikut bapak dan akan duduk di dangau ini setiap hari sedangkan bapak bekerja…!”  sahut Buyung dengan wajah serius.

“Baiklah, nanti saya bilang sama ibuk Nurmima, majikan kita. Tapi ada syaratnya…,” ujar pak Sulaiman kemudian.

“Apa itu, pak?”

“Kamu jangan pakai masker di sawah, nanti lamaranmu ditolak oleh ibuk Nurmima. Dikiranya kamu nanti orang pemalas bekerja. Lagi pula mencangkul itu kerja berat, tidak sama dengan di kantor.

Kalau pakai masker saat  mencangkul, nafasmu bisa sesak dan tidak jadi mencangkul sawah, hehehe..." pak Sulaiman tertawa.

Lihat juga : Cerita Tidurnya Buruh Tani di Negeri Tak Bernama
"Oke, siap pak!" sahut Buyung ikut tertawa. Perasaannya lega karena ia tidak lagi bakal menganggur di kampungnya setelah dilarang balik ke Jakarta.***.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel