Cerpen : Syaratnya Jangan Pakai Masker
Mei 28, 2020
Pagi
itu, seorang pria paruh baya tampak berjalan dengan langkah tegap meskipun tanpa
alas kaki. Menapaki jalan bercadas dan berkerikil. Sepertinya telapak kakinya
sudah tebal dan kebal sehingga tidak lagi merasakan sakit.
Pak Sulaiman,
pria paruh baya itu, memang masuk kerja mulai hari itu. Hari pertama kerja secara
normal usai bulan puasa Ramadhan.
“Hari
pertama kerja harus bersemangat karena hari pertama akan menentukan hari-hari
kerja berikutnya!” pak Sulaiman membatin.
Ia mengenakan
pakaian seragam harian khas yang biasa dipakainya selama ini ke sawah. Pakaian
seragam yang pasti berbeda dengan orang yang bekerja di kantor.
Baju
dan celana berwarna hitam, nyaris seperti seorang pendekar Minangkabau. Akan
tetapi kostum yang dikenakan pak Sulaiman terlihat sudah mulai kusam diterpa
cahaya matahari dan dimakan oleh waktu.
Kepalanya
tertutup oleh topi pandan lebar. Pelindung dari terpaan cahaya matahari dan
hujan. Sementara tangan kanannya memegang tangkai cangkul yang disandang di
bahu sebelah kanannya.
Cangkul
adalah properti wajib yang dibawa pak Sulaiman dalam melaksanakan tugasnya
sebagai buruh tani. Mungkin sama wajibnya dengan pena atau laptop bagi seorang
pekerja di perkantoran yang harus dibawa setiap hari....
Pak…!
Tunggu pak…!
Pak
Sulaiman menghentikan langkahnya ketika mendengar suara orang memanggilnya.
Kemudian menoleh ke belakang melihat siapa gerangan yang telah menghentikan
langkahnya.
Ternyata
seorang anak muda dengan mulut dan hidung tertutup oleh masker pelindung. Ia
bergegas menyusul dan mendekati pak Sulaiman.
Meskipun
ditutupi masker pelindung, petani dengan lima anak itu dapat mengenal anak muda
yang kini melangkah ke arahnya.
Buyung
yang merantau ke Jakarta berhasil keluar dari ibu kota itu. Kini ia terperangkap di kampung. Tidak boleh
lagi kembali ke Jakarta karena pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar.
“Ada
apa Buyung?” tanya pak Sulaiman.
“Aku
ikut ke sawah di tempat bapak bekerja.” sahutnya dengan napas terengah
engah. Itu terlihat dengan jelas dari masker yang dikenakannya kembang kempis
oleh tiupan nafasnya.
Pak
Sulaiman hanya mengangguk. Meneruskan
perjalanan dan dikuti oleh Buyung yang berjalan di samping kirinya.
“Bapak
tidak mengenakan masker?” iseng Buyung bertanya, melirik ke wajah pak Sulaiman
sembari mengiringi langkah kakinya.
Pak
Sulaiman hanya menyeringai geli setelah menoleh sekilas. Lalu balik bertanya, “Emangnya,
petani ke sawah juga harus pakai masker?”
Buyung
tersentak. Merasa malu sendiri. Tanpa menjawab pertanyaan pak Sulaiman lagi, spontan
ia melorotkan masker pelindung sehingga masker itu kini terkalung di lehernya.
“Buyung,
buyung…” pak Sulaiman geleng-geleng kepala. “Bekerja di sawah, seperti di kampung
kita ini, belum perlu mengenakan masker meskipun dalam era new normal setelah pemberlakuan sosial berskala besar.” ujarnya
kemudian.
Lagi
pula bapak bekerja hanya sendirian koq di sawah buk Nurmima,” pak Sulaiman
menimpali kemudian.
“Lho?
Sepertinya bapak tahu juga soal New Normal, pemberlakuan social berskala besar…?”
“Ya,
tahu dong. Walaupun bapak buruh tani dan sekolah hanya tamat SMP tapi tiap hari
bapak browsing internet di rumah.
Membaca
info terkini tentang virus Corona melaui portal berita nasional. Di televisi
juga disiarkan informasi tentang wabah virus Corona dan kebijakan pemerintah
dalam mencegah Covid-19,”
Buyung
berdecak kagum.
“Makanya
bapak pergi ke sawah tidak memakai masker. Tapi kalau bepergian ke tempat umum,
ya harus mengenakan masker karena itu protokol kesehatan dalam new normal,”
sambung pak Sulaiman.
Tanpa
terasa sudah sampai di persimpangan jalan. Pak Sulaiman menikung ke kanan dan
menapaki pematang sawah. Buyung hanya mengekor di belakang.
“Hati-hati,
kamu orang yang biasa di rantau, jangan-jangan sudah gamang berjalan di
pematang sawah,” sindir Pak Sulaiman.
“Ya,
enggak lah pak. Saya dulunya juga dibesarkan di kampung ini dan diajak ke sawah oleh orangtua saya.” balas Buyung.
Namun
tidak berapa langkah menapaki pematang sawah, Buyung terpelset setelah
menginjak bagian pematang sawah yang lunak.
“Nah,
apa bapak bilang…”
“Hehehe…”
Buyung nyengir.
Pak
Sulaiman istirahat sejenak sesampai di dangau sawah. Kemudian bersiap-siap
memulai pekerjaan mencangkul sawah buk Nurmima sang majikannya.
“Pak…,
besok ajak saya mencangkul sawah disini, ya pak.” ujar Buyung setengah memelas.
“Apa
kamu kuat untuk bekerja mencangkul sawah seharian…?” tanya pak Sulaiman melihat
keseriusan Buyung.
“Saya
usahakan, pak. Tidak enak rasanya saya ikut bapak dan akan duduk di dangau ini
setiap hari sedangkan bapak bekerja…!”
sahut Buyung dengan wajah serius.
“Baiklah,
nanti saya bilang sama ibuk Nurmima, majikan kita. Tapi ada syaratnya…,” ujar pak Sulaiman
kemudian.
“Apa
itu, pak?”
“Kamu
jangan pakai masker di sawah, nanti lamaranmu ditolak oleh ibuk Nurmima. Dikiranya kamu nanti orang pemalas bekerja. Lagi pula mencangkul itu kerja berat, tidak sama dengan di kantor.
Kalau pakai masker saat mencangkul, nafasmu bisa sesak dan tidak jadi mencangkul sawah, hehehe..." pak Sulaiman tertawa.
Lihat juga : Cerita Tidurnya Buruh Tani di Negeri Tak Bernama
"Oke, siap pak!" sahut Buyung ikut tertawa. Perasaannya lega karena ia tidak lagi bakal menganggur di
kampungnya setelah dilarang balik ke Jakarta.***.