Mama dan Anak Gadisnya

Mama dan anak gadisnya - Sebuah travel Avanza bercat hitam berhenti di perempatan jalan simpang Bukit Gombak. Seorang penumpang paruh baya turun seraya menjinjing tas ransel dan bungkusan bawaannya. Ia mengenakan topi hitam. Kemeja panjang lengan yang digulung hingga siku sudah usang, benar-benar tidak selaras dengan jeans yang juga terlihat lusuh. Semakin norak dengan sandal jepit yang dipakainya.

Di tempat penantian angkutan umum itu sudah ada seorang perempuan setengah baya dan anak gadisnya. Rupanya juga sedang menunggu angkutan pedesaan.

Sukidi, laki-laki paruh baya yang baru turun dari mobil travel itu bersandar di pagar tembok pagar sekaligus pembatas depan rumah penduduk dengan jalan umum.

Mentari yang sudah condong ke barat. Sinarnya menerpa wajah Sukidi. Segera ia menurunkan ujung topi hitam yang dipakainya. Sekadar melindungi wajah dari terpaan sinar mentari.

Cara itu tidak membuat Sukidi nyaman. Segera ia mendekat ke arah perempuan dan anak gadisnya. Agak terlindung dari cahaya matahari oleh ranting pohon rambutan yang menjuntai ke arah pinggir jalan.

"Menunggu angkutan kemana, Mama?" sapa Sukidi bertanya sok akrab.

"Ke Lintau..., bapak?"

"Wah, sama. Saya juga hendak ke Lintau," sahut Sukidi. 

"Hm, itu anak gadisnya Mama?' tanya Sukidi setelah melirik sekilas gadis di sebelah perempuan yang dipanggilnya mama.

Gadis montok berkulit putih dan cantik itu asyik dengan smartphonenya. Membelakangi cahaya matahari sambil selfi dengan android dan tongsis-nya. 

Perempuan yang dipanggil mama itu mengangguk.

"Bapak kerja bangunan, ya? Baru pulang kerja rupanya. Dimana kerjanya, pak?" tanya Mama itu kemudian.

Sukidi tersenyum kecil. Kemudian membuka topi Pat warna hitamnya. Memperhatikan sekilas kemeja dan celana jeans-nya yang memang sudah usang. "Pantas, saya disangka kerja kuli bangunan. Penampilan saya memang seperti kuli bangunan", Sukidi membatin.

"Tidak, mama..." jawab Sukidi kemudian.

"Intel...?"

Sukidi menggeleng. "Saya guru dan bertugas di Lintau. Kebetulan saya saat ini dari kampung halaman." terang Sukidi.

"Oh, maafkan saya, pak..." Sang mama tersipu malu dan merasa bersalah.

"Tidak apa-apa." Sukidi mengangguk sambil tersenyum kecil. 

Kembali ia memperhatikan anak gadis yang masih asyik selfi-selfi sendiri disebelah mamanya. Senyum-senyam seraya memotret diri sendiri tanpa sungkan di tempat ramai.

"Anak saya itu sebenarnya masih kecil pak, baru kelas satu tsanawiyah, badannya memang sudah gede, hehe..." timpal sang Mama.

"Oh..., tapi anaknya Mama cantik banget..." puji Sukidi. 

Sang mama hanya tersenyum kecil anaknya dipuji demikian.

Sudah sekian puluh menit menunggu namun angkutan umum ke Lintau belum juga lewat. Sukidi merasa haus. Kerongkongannya terasa kelat. Segera ia mencari warung penjual minuman kemasan plastik.

Tak berapa lama Sukidi telah kembali membawa minuman botol plastik. Memberikannya sebotol kepada sang Mama. Semula sang mama enggan menerima. Namun setelah dibujuk Sukidi akhirnya mau menerimanya.

"Kasian itu si cantik, anak gadisnya mama, ia pasti sudah haus. Jangan khawatir, saya juga punya anak gadis, bahkan dua orang..."

"Oh ya?"

"Benar koq Ma..."

"Mama..., pengin pipisss..." Sang gadis setengah berbisik dekat telinga mamanya. Meskipun sang gadis berbisik  namun masih terdengar oleh Sukidi.

Sukidi tersenyum. Seraya membuang muka ke arah lain.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel