Menyigi Sekilas Problema Perantau
September 07, 2020
Menyigi sekilas problema perantau - Kenapa tidak pulang-pulang? Kenapa jarang pulang? Acap kali pertanyaan seperti itu diajukan oleh orang ketika anda pulang ke kampung halaman. Pertanyaan yang bernada seolah-olah menyesali sikap anda, yang memang selama ini jarang pulang kampung. Sudah tergadai di kampung istri atau di perantauan!
Anda mungkin memberikan sejumlah alasan. Namun belum tentu alasan tersebut diterima langsung oleh orang yang bertanya. Bahkan ia boleh jadi, sekaligus menasehati anda. "Sekali-sekali lihat jugalah kampung, anggota keluarga dan lain sebagainya. Kalau ada acara, pernikahan dan kematian usahakanlah untuk pulang."
Banyak faktor halangan
Perihal pulang kampung memang menjadi problema. Apalagi sejak merebaknya kasus Covid-19. Untuk itu, artikel inspirasi ini ditujukan untuk Menyigi sekilas problema perantau yang jarang pulang kampung.
Jika ditilik dari segi jarak, merantau itu mungkin digolongkan menjadi merantau jauh dan merantau dekat. Merantau jauh karena memang tidak cukup ditempuh dalam satu atau dua hari ke kampung halaman.
Merantau dekat boleh jadi hanya memerlukan beberapa jam perjalanan. Namun perlu digarisbawahi, penggolongan ini bersifat relatif, tidak ada patokan pasti jauh-dekatnya merantau dalam pembahasan artikel ini.
Keluhan perantau jarang pulang ke kampung berawal dari banyak faktor. Di antaranya faktor ekonomi perantau, tugas atau dinas serta perkawinan dengan orang di rantau.
Jarang pulang ke kampung, boleh jadi karena masalah keuangan perantau. Hari lebaran, pernikahan dan kematian anggota keluarga dan lainnya tidak sempat membuat perantau pulang kampung.
Bagaimana pun pulang kampung pastilah membutuhkan biaya. Namun sering orang di kampung bilang, yang penting pulang kami tidak memerlukan uang tetapi yang perlu kepulangannya bukan uangnya.
Itu mungkin benar. Seperti yang terungkap dalam lirik lagu 'Tangih di Rantau', pitih nan sayuik jo apo Denai manyubarang.
Ini menunjukkan bahwa keinginan pulang kampung pasti ada. Siapa yang tidak kangen dengan kampung halamannya, saudara dan karib kerabatnya. Namun apa daya, biaya untuk pulang tidak ada.
Kalau pun ada, itu hanya untuk sekadar pulang. Persoalannya tidak sampai disitu. Bagaimana dengan istri dan anak yang ditinggalkan selama pulang kampung?
Rupanya masa pandemi telah ikut mempersulit perantau untuk pulang. Harus mengikuti prosedur kesehatan yang telah ditetapkan. Ekonomi masyarakat pun ikut terimbas. Begitu kira-kira.
Ada pula jarang pulang ke kampung halaman karena faktor dinas atau bertugas jauh. Orang merantau karena dinas atau tugas ini, tidak mungkin pulang ke kampung sesuka hati. Perlu mematuhi aturan di instansi atau lembaga di tempat berdinas.
Tidak mustahil jarang pulang kampung karena faktor psikologis. Pulang ke kampung halaman merasa jadi orang asing karena jarang ditemui teman lama semasa sepermainan.
Di sisi lain, keluarga di kampung halaman memang berharap orang di rantau pulang. Mengunjungi kampung halaman, keluarga terdekat. Menjalin silaturrahmi, melepas rasa kangen. Paling tidak setiap lebaran atau ada acara dan kegiatan penting di kampung.
Ternyata komunikasi jarak jauh saja belumlah melepas 'hutang' untuk pulang kampung. Komunikasi antara orang di kampung dan di rantau sudah mengalami kemajuan. Dulu melalui surat namun sekarang melalui alat komunikasi moderen, seperti smartphone. Bisa berkomunikasi secara audio maupun visual melalui video call.
Lihat juga : Dari Pesta Pernikahan Seorang Keponakan
Problema orang rantau jarang pulang memang bukan terjadi sekarang ini saja. Namun sudah berlangsung sejak dulunya. Akan tetapi secara perlahan, baik orang yang merantau maupun di kampung terus membangun komunikasi yang baik.***