Bocah Kecil dan Sang Kakek

Seorang bocah tampak berlari-lari kecil di halaman rumah yang berumput rendah. Wajahnya penuh kegembiraan. Tangan kanannya agak terangkat saat menarik ujung benang layang-layang mainannya di tengah tiupan angin berhembus kencang.

Tiba-tiba kakinya tersandung ketika menoleh ke belakang. Bocah itu pun jatuh terjerembab di atas rerumputan halaman.

Hanif, bocah berusia empat tahunan itu hanya meringis kesakitan. Namun dengan penuh semangat kembali bangkit dan melarikan ujung benang untuk menaikkan layang-layang mainannya.

Meskipun angin berhembus kencang. Manalah mungkin layang-layang mainan bocah itu akan naik ke angkasa seperti pemikirannya. 

Yang dianggapnya layang-layang benaran itu, hanyalah kantong kresek yang diberi benang sekitar satu meter. Kantong plastik berwarna hitam, bekas pembawa barang belanjaan mama bocah itu dari Pasar Balai Jumat.

Sementara itu di teras depan sebuah rumah, seorang pria setengah baya duduk mengawasi bocah yang tengah asyik bermainan layangan di halaman.

Pria itu, pak Munir, tersenyum kecil manakala teringat tadinya bocah itu merengek-rengek untuk bermain dan minta dibuatkan layang-layang.

"Anif main ayang-ayang. Buatkan ayang-ayang, Ayek..." Begitu rengek Hanif, sang bocah anak tetangga depan rumah pak Munir. 

Pak Munir, pria yang dipanggil 'Ayek' (kakek) itu tak perlu lama mendapatkan ide untuk membujuk dan memenuhi permintaan Hanif. 

Ia mencari sebuah kantong kresek bekas. Di atas rumah tetangganya, pak Munir menemukan sebuah kantong kresek bekas pembawa barang belanjaan.

Dengan bermodal kantong kresek dan satu meter benang penjahit, pak Munir berhasil membuatkan bocah yang sudah dianggap sebagai cucu sendiri itu mainan seperti layang-layang.

Hanif nampak gembira. Kegembiraan bocah itu terasa sekali oleh pak Munir.

"Ayek, ayang-ayang Anif, usak..." rengek Hanif tiba-tiba dengan logat bocahnya. Membuyarkan lamunan pak Munir.

Kembali pak Munir tersenyum, geli oleh logat bocah itu karena dirinya dipanggil Ayek (kakek). Jangankan memiliki cucu, mantu saja belum.

"Iya, kecini Ayek pelbaiki..." sahut pak Munir menirukan logat bocah.

Sesaat saja pak Munir sudah memperbaiki layang-layang yang disebut 'usak' (rusak) oleh Hanif.

Hanif memang bukan cucu Pak Munir. Namun sejak orangtua Hanif tinggal di rumah depan, ia sudah merasa dekat dengan bocah kecil itu. 

Suatu ketika mengajak Hanif jalan-jalan ke warung yang tak jauh dari rumah. Orang lain mengira bocah kecil yang ikut bersama Pak Munir adalah cucunya sendiri.

"Wah, pak Munir sudah punya cucu rupanya," celetuk buk Jum, pemilik warung.

"Ia, buk... tapi bukan cucu kandung saya." tukas pak Munir.

"Jadi, anak siapa ini?"

"Anak tetangga baru saya, buk Jum."

"Oh..."

"Bocah ini mengira kalau saya kakeknya sendiri sehingga sangat dekat dengan saya. Tapi saya sudah menganggapnya sebagai cucu saya sendiri, buk. Sebenarnya di Minangkabau, ada istilah cucu kandung dan cucu yang dikandung. Jadi, Hanif ini adalah cucu yang dikandung, buk Jum..." jelas pak Munir.

"Ayeeek.....!!!!"

Hanif berteriak lagi. Tapi kali ini sambil menangis. Lagi-lagi membuyarkan lamunan pak Munir.

"Cakiiitt, yek...!!!"

"Kecini, biar Ayek obati dulu..." panggil pak Munir. Namun Hanif belum juga bangun dari jatuhnya. 

Pak Munir bangkit dan menghampiri Hanif yang masih kesakitan. Lututnya kelihatan memerah dan berpasir. Ternyata ia jatuh di atas tanah berpasir.*** 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel