Duda dan Janda

Tuk! Tuk! Tuk! Terdengar pintu kamar kost diketuk dari luar. Maman bangkit dari tempat tidur. Ia sudah menduga kalau yang mengetuk pintu adalah ibuk kost.

Ilustrasi (pixabay.com)

"Ada tamu, pak guru..." seru suara dari luar. Benar saja. Suara itu buk Halimah sang pemilik rumah kost. "Iya, buk. Sebentar," sahut Maman seraya membenahi pakaiannya. 

Di ruang tamu sudah menunggu seorang ibu muda ditemani dua bocah anaknya.

"Maaf, pak guru... Saya sudah mengganggu istirahat siang, pak guru..." ujar perempuan itu seakan merasa bersalah.

"Oh, tidak apa-apa, buk. Kebetulan saya juga duduk-duduk saja di kamar pulang sekolah tadi," sahut Maman agak berbohong untuk menjaga agar tamunya tidak merasa bersalah.

"Terima kasih. Hm, langsung saja pak guru. Saya sengaja menemui pak guru untuk mengucapkan terima kasih," 

"Terima kasih apanya, buk?" sela Maman tidak mengerti.

"Adik saya Sherina, waktu pengumuman penerimaan rapor tadi di sekolah, keluar sebagai juara umum. Pak guru sebagai wali kelas adik saya, bukan?"

Maman mengangguk dan kini ia jadi paham maksud kedatangan perempuan muda dua anak itu.

"Betul, saya wali kelasnya Sherina. Tapi Sherina memang pintar dan pantas dapat juara umum." timpal Maman.

"Sekali lagi terima kasih, pak guru..."

"Sama-sama, buk." Tak lama kakak Sherina pamit pulang. Sementara Maman masih terdiam di kursi.

"Waduh, siapa nama ibuk dua anak, kakak Sherina itu?" celetuk Maman sendiri seraya menemuk jidatnya. Ia kini sungguh penasaran sampai lupa mengenal nama perempuan yang telah mengunjunginya barusan.

Maman kembali ke kamarnya. Ia tak habis pikir, entah kenapa bayangan wajah kakak Sherina itu kini melekat di angannya.

"Pantasan kakaknya cantik. Sherina juga siswi yang cantik. Namun sang kakak nampak lebih menawan meskipun sudah beranak dua." Maman membatin.

Tiba-tiba Maman geleng-geleng kepala sendiri sambil tersenyum kecil. Ia tak habis pikir. Heran pada dirinya. Entah kekuatan mistis darimana yang membuatnya teringat pada kakaknya Sherina.

Namun disaat itu pula mendadak Maman jadi galau. Teringat realita hidup yang dialaminya kini. Meskipun ia sudah menerima suratan nasib dengan lapang dada, pria berumur kepala empat itu masih penasaran dengan penyebab rumah tangganya berakhir. Yaumi, istrinya meminta berpisah. 

Malam itu bagai mimpi di siang bolong bagi Maman. "Sebaiknya kita berpisah, bang. Aku tak sanggup hidup bersama Abang lagi. Sudah lama kita membina rumah tangga yang selalu mengalami kekurangan," ujar Yaumi.

"Kamu ngomong apa, Yaumi?" 

"Aku serius, bang..."

Maman terdiam.

"Sudah kamu pikirkan hal itu?" tanya Maman tak percaya.

"Sudah lama, bang. Aku tidak sanggup lagi dengan keadaan keluarga kita yang selalu kekurangan uang..." timpal Yaumi yakin.

"Sudah.., cukup..., cukup Yaumi..." Maman memotong ucapan istrinya. "Abang juga tak ingin kamu dan anak-anak kita menderita. Abang juga telah berusaha untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarga selain menjadi guru honor..."

"Tapi buktinya mana, bang?"

Maman tak menjawab. Lidahnya terasa kelu untuk meyakinkan istrinya agar tabah menghadapi kesulitan hidup dalam rumah tangga.

"Baiklah, kalau memang sudah bulat tekad kamu untuk berpisah dengan Abang," ujar Maman menyerah.

Kembali Maman geleng-geleng kepala sendiri mengingat peristiwa tak diduganya dua tahun silam itu.

Maman menghela nafas. Lelaki mana yang mau menduda. Apalagi sudah dua tahun Maman berpisah dengan istrinya. Namun hati Maman jadi bimbang mana kala muncul keinginan untuk mencari pengganti istrinya. "Siapa yang mau jadi istri guru honor seperti aku?" keluh Maman dalam hati.

***

"Hay...kakaknya Sherina, bukan?" seru Maman tatkala memasuki sebuah kafe di arena pasar malam.

"Iya, pak guru." sahut ibu muda yang sudah duduk di pojok kafe bersama dua anaknya.

"Lho? Papanya anak-anak tidak ikut?" tanya Maman kemudian setelah duduk di seberang meja dan menghadap ibu dua anak tersebut.

"Sudah meninggal, pak guru..." sahutnya dengan suara berat dan sedih.

"Oh. Maaf, pertanyaan saya sudah membangkitkan kesedihan ibuk," tutur Maman ikut sedih.

"Tidak apa, pak guru. Istrinya kenapa tidak diajak kesini?" 

Maman menghela nafas.

"Sudah tidak lagi bersama saya, buk..." jawab Maman datar.

"Meninggal?"

"Berpisah hidup,"

"Oh, saya juga minta maaf..."

Maman hanya tersenyum.

"Saya panggil siapa ke ibuk ya?"

"Tidak usah panggil ibuk, pak guru. Panggil saja Karina..."

"Oh begitu. Saya juga jangan dipanggil pak guru lagi, panggil saja Uda Maman, hehe..."

Karina tersenyum.

"Ada yang lucu dengan saya, Karina?"

"Tidak, hanya senang saja, Uda Maman..."

Karina tersenyum lagi. Manis sekali. Maman jadi ikut tersenyum. Saling pandang sejenak. Selebihnya angin malam arena pasar malam itu yang menyampaikan pesan hati duda dan janda itu!***