Dilematika Pendidikan (Sejarah) Pasca Covid-19

Dilematika pendidikan (sejarah) pasca covid-19 - Tak dinyana dan dikira-kira sebelumnya. Virus Corona datang 'melumpuhkan' berbagai sektor kehidupan manusia, termasuk bidang pendidikan. Padahal sebelum adanya virus ini pun, permasalahan pendidikan belum tuntas. Mulai dari fasilitas di pelosok negeri sampai degradasi moral yang belum selesai dibenahi.

Dalam kondisi pandemi seperti ini, sebagaimana dilansir Majalah Tempo edisi 4-10 Mei 2020, telah ada sebanyak 246 pengaduan dari orang tua/wali maupun siswa mulai dari jenjang TK hingga SMA. 

Berbagai pemberitaan dewasa ini juga menyebutkan banyak permasalahan yang terjadi. Diantaranya, hampir semua guru hanya 'memborbardir' siswa dengan tugas yang berbeda untuk mata pelajaran yang berbeda setiap harinya. 

Bahkan tanpa memberikan penjelasan terkait materi sehingga mengakibatkan siswa malas karena harus terus-menerus berada di rumah dan stress dengan puluhan tugas yang menumpuk. 

Sementara biasanya mereka dapat mencurahkan segala penatnya, bermain dan berbicara dengan teman-temannya di sekolah. Secara psikologis, tentu semua ini berdampak pada rendahnya motivasi siswa untuk belajar (Redaksi Tempo, 2020).

Masalah kemudian hari adalah bagaimana sistem pendidikan pasca Covid. Seperti sama-sama diketahui bahwa pendidikan di era Covid mengalami banyak sekali keterbatasan. Memang untuk sebagian orang ini tidak begitu berpengaruh, karena dia punya landasan yang kuat mengapa ia harus belajar. 

Dan, kalau ditelaah lebih lanjut lagi, anak-anak yang malas belajar bukan semata-mata karena ia malas, tetapi sistem pendidikan di Indonesia saat ini yang dinilai kurang kondusif.

Itulah kiranya yang harus dibenahi saat ini. Di masa pandemi ini, janganlah anak-anak di bebani dengan setumpuk tugas yang tak ia pahami. Hal ini karena pandemi rentan sekali kehilangan motivasi pada anak, mereka bisa depresi, kalau berkelanjutan akan bunuh diri. 

Di tambah lagi kalau mereka menyadari jika kedepan materi akan lebih berat, karena beban semester lalu yang belum tuntas, ditambah beban semester nanti yang tak kalah berat, dilematis sekali memang persoalannya.

Disisa penghujung semester, baiknya harus dijalin komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk didalamnya ada siswa. Membahas perihal substansi materi juga metode yang tepat untuk tiap-tiap sekolah. Tentu disadari betul tentang metode pembelajaran berbeda tiap kondisi geografis bahkan kondisi ekonomi pun ikut terlibat.

Harus ada penelaahan mengenai korelasi materi dengan cakupan kemampuan siswa. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana membangkitkan rasa ingin tahu siswa sehingga tumbuhlah semangat mengkaji suatu bidang keilmuwan. 

Inilah yang kiranya luput dari selayang pandang pendidikan di Indonesia. Siswa didoktrin dengan teori, khususnya dalam keilmuwan berbau hitung-hitungan, sehingga malah menjadikan siswa bosan karena tak paham apa relevansinya dengan kehidupan.

Dalam hal pelajaran sejarah misalnya, anak-anak hanya di tugaskan menghafal lalu mengerjakan, yang lagi-lagi berorientasi pada nilai semata. Padahal hakikat mengenal sejarah adalah mencermati kesalahan agar tak terulang dan meneladani yang baik untuk kemudian diteruskan. 

Dan bukankah pula kecerdasan anak, bukan dilihat dari sekadar tajamnya hafalan di mata pelajaran sejarah? Padahal ada banyak tipe kecerdasan di dalam pribadi manusia, yang tidak melulu perihal hitungan dan hafalan.

Apalagi setelah pandemi, anak-anak akan menjalani kondisi baru, beban pelajaran yang kian berat akibat tak pahamya materi di masa belajar dari rumah. Juga ada beberapa anak yang sudah terlanjur nyaman dengan kegiatan di rumah, maka di rasa sangat perlu adanya gebrakan maju di sistem pendidikan Indonesia.

Ambil contoh pelajaran sejarah, maka untuk beban materi yang pada masa pandemi perlu kiranya diperkuat pada masa ajaran baru. Tidak perlu dengan menugaskan banyaknya hafalan, sampaikan saja poin utama di awal atau akhir mata pelajaran sejarah semester berikutnya yang kiranya membangkitkan rasa ingin tahu siswa sehingga mereka mau mendalami tanpa perlu diperintah. Karena pada hakikatnya nilai bukan segalanya, sasaran pendidikan adalah membimbing generasi untuk membangun peradaban. Untuk membangun peradaban yang penuh kedamaian tidak hanya bersandar IQ siswa, tetapi lebih utama adalah SQ kemudian EQ. Konon katanya, penjahat yang brilian jauh lebih membahayakan, maka dari itu akhlak adalah sasaran utama dari program pendidikan. Pembentukan akhlak tidak akan berjalan mulus kalau sistem hari ini mengadopsi paham sekulerisme.*** (Laela Indiany)

Daftar Pustaka

Redaksi (2020): Kusut Bantuan Sosial (Majalah). Jakarta: Majalah Tempo.

Biodata Penulis :

Nama : LAELA INDIANY

Pekerjaan : MAHASISWA

Domisili  : SEMARANG

Asal : BLORA

No. Hp : 082328047867

E-mail : laelaindiany959@gmail.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel