Diujung Senja (Bagian kedua)

Diujung senja (Bagian kedua) - Kaca hitam pintu depan sebelah kanan mobil turun perlahan. Kini terlihat jelas pengemudinya. Seorang laki-laki berkaca mata hitam pekat. Sementara lelaki tua yang duduk di bangku rumahnya masih melongo memperhatikan orang yang duduk di belakang setir mobil Pajero Sport itu. Sama sekali ia tidak mengenalnya!

( Sebelumnya : Diujung Senja Bagian kesatu )

Ilustrasi gambar (pixabay.com) 

"Siapa gerangan orang itu? Apakah ia akan mampir ke rumah saya?" tanya lelaki tua itu dalam hati. 

Belum usai berpikir, pintu mobil sudah terbuka. Sang sopir dengan postur tubuh tinggi dan berkulit putih itu membuka rayben-nya, turun dari mobil kemudian melangkah membuka pintu pagar dan masuk pekarangan.

"Assalamualaikum, bapak...." ujar sang sopir dengan wajah ceria dan mengangguk hormat.

"Waalaikum salam..." sahut lelaki tua itu ragu-ragu.

Sang sopir menyalami lelaki tua itu sambil mencium tangannya. Layaknya seorang anak kepada orangtua atau murid kepada gurunya. 

Tanpa disuruh, sang sopir duduk di samping lelaki tua itu. "Bagaimana kabar bapak?"

"Alhamdulillah, bapak baik-baik saja. Hm..., ini siapa ya?" tanya lelaki tua itu semakin penasaran. Sang sopir tersenyum. Lalu berkata, 

"Coba bapak lihat dan perhatikan saya baik-baik..." 

Lelaki tua itu memperhatikan wajah sang sopir yang sedang tersenyum ramah kepadanya. "Sungguh, bapak tidak mengenalmu, nak...," ujar lelaki tua itu seraya geleng-geleng kepala.

"Saya Alfian, murid bapak sewaktu SMP di Ranah Batu dulu..." aku sang sopir kemudian.

Lelaki tua itu manggut-manggut sambil mengingat-ingat muridnya yang bernama Alfian!

"Masyaallah...! Kamu... Alfian, yang dulu begitu rajin dalam organisasi Osis di smp...?" seru lelaki tua itu gembira.

"Benar, bapak... Wah, meskipun sudah pensiun ternyata ingatan bapak masih kuat rupanya. Tapi, siapa dulu dong, Pak Sumadi..., hehe...." kata Alfian memuji mantan gurunya.

"Kamu semakin pintar saja memuji, Alfian," sambung lelaki tua, Pak Sumadi menepuk-nepuk bahu Alfian.

Pak Sumadi tiba-tiba terdiam. 

"Lho, pak...saya tidak diajak masuk ke rumah bapak?" ujar Alfian memintas, seolah-olah menangkap keraguan mantan gurunya itu.

"Tapi..., rumah bapak tidak memiliki kursi. Hanya duduk beralaskan tikar pandan, Alfian..." 

"Ah, bapak...Jangan begitu dong, pak..." potong Alfian. "Bukankah dulu bapak selalu bercerita di kelas tentang hubungan hukum Fisika dengan keikhlasan untuk menerima kenyataan hidup ini apa adanya...?"

"Ya..., kalau begitu, mari kita masuk..."

"Nadya...! Ayo kesini...!" seru Alfian memanggil seseorang yang masih berada di dalam mobil.

Seorang perempuan cantik turun dari mobil seraya membuka rayben hitamnya. Ia membawa sesuatu di tangannya.

"Istrimu...?" Pak Sumadi berbisik.

"Iya, pak..." Alfian balas berbisik.

Nadya, istrinya Alfian menyalami pak Sumadi sambil mencium punggung tangannya.***(Bersambung...) Simak : Diujung Senja Bagian ketiga

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel