Diujung Senja (Bagian kesatu)
Diujung senja (Bagian kesatu) - Rumah panggung di pinggir jalan itu tampak unik. Kecil dan mungil. Berada di antara rumah-rumah permanen yang berderet di sepanjang jalan raya dusun Malenggang Kabupaten Saelo.
Ilustrasi (pixabay.com)
Posisi rumah panggung itu pun memanjang arah jalan raya yang menghubungkan ibu kota kabupaten dengan kabupaten lain.
Dinding rumah panggung terbagi dua bagian. Sekitar setinggi duduk orang dewasa, dinding rumah terbuat dari papan. Selebihnya merupakan anyaman aur.
Anak tangga rumah yang hanya satu menandakan kolong rumah panggung tidak begitu tinggi.
Jendela hanya ada satu terbuat dari papan dan menghadap ke jalan raya terlihat terbuka. Pertanda rumah itu masih berpenghuni. Namun pintu masuk dan tangganya menyamping posisi jalan raya.
Rumah dengan atap seng mode segitiga itu tidak tepat disebut rumah karena tidak memiliki dapur.
Pagar bambu melingkup rumah dan pekarangannya. Di pekarangan yang tidak terlalu luas itu ditanami beberapa sayuran seperti terung, pare dan oyong.
Tiba-tiba pintu rumah yang menyamping jalan raya itu berderit dan terkuak. Seorang lelaki tua, mengenakan peci hitam, keluar dan menuruni anak tangga. Kemudian ia duduk di bangku papan yang sandarannya ke dinding rumah.
Meskipun sudah tua, penampilannya terlihat masih rapi. Batik dan stelan sarung yang dikenakannya, menunjukkan dulunya ia bukan orang sembarangan. Apalagi kulitnya yang putih meskipun mulai keriput.
Tak lama sebuah mobil mewah berwarna hitam, berhenti di pinggir jalan dekat pintu masuk pagar pekarangan.
Lelaki tua itu menoleh. Memperhatikan mobil mewah itu dengan seksama. Meskipun ia tak pernah seumur hidupnya mempunyai mobil namun ia tahu mobil itu jenis Pajero Sport.*** (Bersambung...) Simak: Diujung Senja Bagian kedua