Diujung Senja

Pengantar - Cerita ini merupakan gabungan beberapa cerita bersambung (Cerbung) yang sudah dimuat di website sehingga kini bisa untuk dibaca di halaman matrapendidikan.com (admin).

Rumah panggung di pinggir jalan itu tampak unik. Kecil dan mungil. Berada di antara rumah-rumah permanen yang berderet di sepanjang jalan raya dusun Malenggang Kabupaten Saeo.

Ilustrasi senja (pixabay.com)

Posisi rumah panggung itu pun memanjang arah jalan raya yang menghubungkan ibu kota kabupaten dengan kabupaten lain.

Dinding rumah panggung terbagi dua bagian. Sekitar setinggi duduk orang dewasa, dinding rumah terbuat dari papan. Selebihnya merupakan anyaman aur.

Anak tangga rumah yang hanya satu menandakan kolong rumah panggung tidak begitu tinggi.

Jendela hanya ada satu terbuat dari papan dan menghadap ke jalan raya terlihat terbuka. Pertanda rumah itu masih berpenghuni. Namun pintu masuk dan tangganya menyamping posisi jalan raya.

Rumah dengan atap seng mode segitiga itu tidak tepat disebut rumah karena tidak memiliki dapur. 

Pagar bambu melingkup rumah dan pekarangannya. Di pekarangan yang tidak terlalu luas itu ditanami beberapa sayuran seperti terung, pare dan oyong.

Tiba-tiba pintu rumah yang menyamping jalan raya itu berderit dan terkuak. Seorang lelaki tua, mengenakan peci hitam, keluar dan menuruni anak tangga. Kemudian ia duduk di bangku papan yang sandarannya ke dinding rumah. 

Meskipun sudah tua, penampilannya terlihat masih rapi. Batik dan stelan sarung yang dikenakannya, menunjukkan dulunya ia bukan orang sembarangan. Apalagi kulitnya yang putih meskipun mulai keriput.

Tak lama sebuah mobil mewah berwarna hitam, berhenti di pinggir jalan dekat pintu masuk pagar pekarangan. 

Lelaki tua itu menoleh. Memperhatikan mobil mewah itu dengan seksama. Meskipun ia tak pernah seumur hidupnya mempunyai mobil namun ia tahu mobil itu jenis Pajero Sport.

*****

Kaca hitam pintu depan sebelah kanan mobil turun perlahan. Kini terlihat jelas pengemudinya. Seorang laki-laki berkaca mata hitam pekat. Sementara lelaki tua yang duduk di bangku rumahnya masih melongo memperhatikan orang yang duduk di belakang setir mobil Pajero Sport itu. Sama sekali ia tidak mengenalnya!

"Siapa gerangan orang itu? Apakah ia akan mampir ke rumah saya?" tanya lelaki tua itu dalam hati. 

Belum usai berpikir, pintu mobil sudah terbuka. Sang sopir dengan postur tubuh tinggi dan berkulit putih itu membuka rayben-nya, turun dari mobil kemudian melangkah membuka pintu pagar dan masuk pekarangan.

"Assalamualaikum, bapak...." ujar sang sopir dengan wajah ceria dan mengangguk hormat.

"Wa'alaikum salam..." sahut lelaki tua itu ragu-ragu.

Sang sopir menyalami lelaki tua itu sambil mencium tangannya. Layaknya seorang anak kepada orangtua atau murid kepada gurunya. 

Tanpa disuruh, sang sopir duduk di samping lelaki tua itu. "Bagaimana kabar bapak?"

"Alhamdulillah, bapak baik-baik saja. Hm..., ini siapa ya?" tanya lelaki tua itu semakin penasaran. Sang sopir tersenyum. Lalu berkata, 

"Coba bapak lihat dan perhatikan saya baik-baik..." 

Lelaki tua itu memperhatikan wajah sang sopir yang sedang tersenyum ramah kepadanya. "Sungguh, bapak tidak mengenalmu, nak...," ujar lelaki tua itu seraya geleng-geleng kepala.

"Saya Alfian, murid bapak sewaktu SMP di Ranah Batu dulu..." aku sang sopir kemudian.

Lelaki tua itu manggut-manggut sambil mengingat-ingat muridnya yang bernama Alfian!

"Masyaallah...! Kamu... Alfian, yang dulu begitu rajin dalam organisasi Osis di smp...?" seru lelaki tua itu gembira.

"Benar, bapak... Wah, meskipun sudah pensiun ternyata ingatan bapak masih kuat rupanya. Tapi, siapa dulu dong, Pak Sumadi..., hehe...." kata Alfian memuji mantan gurunya.

"Kamu semakin pintar saja memuji, Alfian," sambung lelaki tua, Pak Sumadi menepuk-nepuk bahu Alfian.

Pak Sumadi tiba-tiba terdiam. 

"Lho, pak...saya tidak diajak masuk ke rumah bapak?" ujar Alfian memintas, seolah-olah menangkap keraguan mantan gurunya itu.

"Tapi..., rumah bapak tidak memiliki kursi. Hanya duduk beralaskan tikar pandan, Alfian..." 

"Ah, bapak...Jangan begitu dong, pak..." potong Alfian. "Bukankah dulu bapak selalu bercerita di kelas tentang hubungan hukum Fisika dengan keikhlasan untuk menerima kenyataan hidup ini apa adanya...?"

"Ya..., kalau begitu, mari kita masuk..."

"Nadya...! Ayo kesini...!" seru Alfian memanggil seseorang yang masih berada di dalam mobil.

Seorang perempuan cantik turun dari mobil seraya membuka rayben hitamnya. Ia membawa sesuatu di tangannya.

"Istrimu...?" Pak Sumadi berbisik.

"Iya, pak..." Alfian balas berbisik.

Nadya, istrinya Alfian menyalami pak Sumadi sambil mencium punggung tangannya.

*****

"Mari, kita naik ke rumah bapak..." ujar Pak Sumadi diikuti Nadya dan Alfian. Nadya, istri Alfian tidak begitu asing dengan rumah panggung bertangga.

"Duh, rumah ini tidak punya kursi tamu. Duduk bersila di tikar lantai, nak Nadya.." Pak Sumadi sedikit risih. 

"Tidak apa-apa, pak...Saya sudah biasa kok pak," sahut istri Alfian seraya duduk bersimpuh.

Sementara itu Alfian menaruh barang bawaan istrinya tadi di sudut ruangan dekat air di gallon minuman. Kemudian membuka kardus botol plastik minuman di bawah meja gallon minuman. Mengambil tiga botol beserta pipet penyedot minuman. Kemudian menaruhnya di tikar.

Dalam rumah panggung kediaman Pak Sumadi memang tidak ada kamar. Tempat tidur kecil, lemari pakaian plastik serta meja dan kursi tersusun di satu pojok ruangan rumah.

Sementara di pojok lain hanya terlihat meja makan dan gallon air minum. Di bawah gallon air minum terdapat satu kardus air botol plastik.

Kemudian pak Sumadi dan Alfian duduk bersila, melipat kedua kaki di depan.

Baru saja Alfian duduk, tiba-tiba ponselnya berdering. "Maaf ya pak, saya angkat telpon ini dulu..." ujar Alfian mohon izin.

Pak Sumadi mengangguk mempersilahkan.

"...Ya, begini saja, satu jam lagi saya sampai di lokasi. Tolong sampaikan pada panitia, saya akan hadir di acara itu, paham?" kata Alfian menutup pembicaraan.

Pak Sumadi hanya terdiam namun hatinya penasaran.

"Kamu kerja dimana sekarang, Al?" tanya pak Sumadi tak dapat menyembunyikan keingintahuannya.

"Berkat ilmu yang bapak ajarkan, alhamdulillah, saya jadi polisi, pak.."

"Alhamdulilah pak, mas Alfian jadi Kapolres di Kabupaten Saelo, kampung bapak ini," timpal Nadya.

"Masyaalah....hebat kamu sekarang, Alfian...". seru Pak Sumadi kagum.

"Siapa dulu gurunya, pak Sumadi, hehe..."

"Lantas, dari mana pak kapolres tahu keberadaan bapak sudah di dusun Malenggang, kampung halaman bapak ini?"

*****

"Maaf, izin koreksi, bapak..." sela Alfian ingin mengoreksi sapaan mantan gurunya. "Jangan panggil saya 'pak' atau 'pak kapolres'. Di rumah dan di hadapan bapak, saya tetap Alfian, murid bapak."

"Oh ya?" Pak Sumadi tersipu. "Lalu, bagaimana kisahnya kamu tahu keberadaan bapak di dusun Malenggang ini?"

"Ketika ditugaskan di kabupaten ini, saya teringat guru semasa di smp, pak Sumadi, berasal dari kabupaten Saelo ini. 

Saat lebaran saya pulang kampung ke Ranah Batu, saya berkunjung ke rumah keluarga bapak disana. Tapi saya hanya bertemu dengan ibuk dan anak- anak bapak. Kata mereka, bapak sudah kembali ke kampung asalnya di dusun Malenggang Kabupaten Saelo ini.

Kebetulan ada anggota saya yang berasal dari dusun ini dan bercerita kepada saya tentang bapak." tutur Alfian mengakhiri kisahnya.

"Betul, Alfian... Setelah memasuki pensiun bapak kembali ke kampung asal dan... beginilah keadaan bapak sekarang ini..." 

"Tapi bapak baik-baik saja, bukan?"

"Alhamdulillah..."

"Masih menulis seperti dulu, bapak?"

"Masih...."

"Wah, luar biasa bapak...."

"Ya, mungkin karena sudah terbiasa dari dulu, Alfian...".

"Hm, mungkin saya dan istri saya harus pamit dulu bapak. Kebetulan setelah ini ada kegiatan lagi..." kata Alfian kemudian.

"Ya, ya..." Pak Sumadi mengangguk.

Alfian dan istrinya bangkit untuk menyalami pak Sumadi. Kemudian pak Sumadi mengiringi mantan muridnya yang kepala polisi itu sampai di pintu pagar.

Pak Sumadi membalas hormat, ketika mantan muridnya memberi penghormatan dari dalam mobil. 

Lelaki tua pensiunan guru itu, pak Sumadi tertegun. Ia baru menyadari, ternyata di belakang mobil Pajero Sport yang dikemudikan Alfian juga ada beberapa buah mobil pribadi. "Pastilah mereka anak buah, Alfian" gumamnya pelan.

Pak Sumadi melangkah kembali ke rumah. Duduk di bangku, menunggu masuknya waktu shalat Ashar. Mendadak perutnya merasa lapar.

Dengan langkah agak goyah ia kembali menaiki rumah. Memeriksa bungkusan bawaan istri Alfian yang ditaruh di meja dispenser

Ada dua kotak kue. Pak Sumadi membukanya sebuah dan segera mencicipi kue tersebut. 

Tiba-tiba pak Sumadi terkejut bukan main. Sebuah amplop putih tebal terjatuh ketika ia memindahkan kotak kue. 

Pak Sumadi memungut amplop tersebut. Kemudian membuka isinya. Ada sepotong surat, disertai sejumlah uang kertas merah.

Namun pak Sumadi membaca tulisan di sepotong kertas kecil itu terlebih dulu.

"Maaf bapak, saya harap bapak tidak keberatan menerima dan mempergunakan sejumlah uang ini. Toh, nilainya belumlah seberapa jika dibandingkan dengan ilmu dan petuah-petuah yang pernah bapak berikan kepada saya semasa SMP di Ranah Batu dulu..."

Pak Sumadi tertegun. Hatinya mendadak haru bercampur bahagia. 

"Alhamdulillah ya Allah, telah Engkau utus seorang manusia berpangkat dan berbudi, diujung senja usia hamba-Mu ini...." tutur pak Sumadi berdoa syukur perlahan.

Perlahan pensiunan guru itu menyusut sedikit butiran bening yang meleleh di pipinya.

Ternyata di balik surat itu juga ada tulisan. "Bapak, besok saya harap bapak bersedia datang ke rumah dinas saya. Dan, jangan khawatir bapak, ada anak buah saya akan menjemput bapak..." 

Tiba-tiba terdengar suara azan Ashar berkumandang dari puncak kubah masjid. Pak Sumadi beranjak turun dan menutup daun pintu rumah panggung. Melangkah menuju rumah Allah.

***** 

Menjelang senja pak Sumadi masih duduk bersandar ke dinding depan di bangku rumah panggung itu. Hatinya merasa hiba. Teringat istri dan anaknya. Sudah lama ia tidak berjumpa mereka. Anak-anaknya pun tak pernah menjenguknya.

Ketika usianya yang sudah diujung senja. Pak Sumadi menjalani hidup dalam kesendirian. Tinggal di rumah panggung tanpa dapur. Makan sendiri dengan nasi pesanan dari rumah makan. Cuci pakaian menggunakan jasa loundry

Sebuah mobil avanza berhenti persis di depan pintu pagar bambu di pinggir jalan. Seseorang turun dari mobil dan melangkah memasuki pekarangan.

"Maaf, pak. Saya ditugaskan oleh komandan untuk menjemput bapak..."

"Oh ya, saya sudah siap berangkat, pak." balas pak Sumadi seraya bangkit dan melangkah keluar pekarangan.

Pak Sumadi membuka pintu mobil bagian samping kiri. Namun asisten pribadi Alfian mencegahnya.

"Maaf, pak Sumadi..., bapak mohon duduk di depan...!"

"Ah, biar saya di belakang saja, pak..."

"Jangan pak, nanti saya ditegur atasan saya karena beliau memerintahkan agar jemputan duduk di depan.."

"Oh, begitu..." Pak Sumadi kembali menutup pintu dan pindah ke depan. 

Senja mulai temaram. Ketika azan Magrib berkumandang, pak Sumadi sudah sampai di rumah Alfian. Ternyata Alfian dan istrinya Nadya serta anak-anaknya sudah menunggu di ruang tamu.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam...silahkan masuk bapak..." 

"Maaf pak..., tugas selesai dan saya izin pamit..." sela asisten pribadi pamit.

"Ya, silahkan dan terimakasih...." sahut Alfian.

"Hm, sebelum kita makan bareng sebaiknya kita shalat berjamaah dulu dan saya harap bapak jadi imamnya..." ujar Alfian kemudian.

Pak Sumadi bertindak jadi imam di rumah dinas Alfian. Usai shalat magrib mereka makan bersama.

"Begini bapak. Saya dan istri sengaja mengundang bapak kesini karena ada sesuatu maksud keluarga kami," ujar Alfian memulai pembicaraan.

"Maksud Alfian?" 

"Kami harap bapak bersedia dan tidak menolaknya. Bulan besok, bapak siap-siap pergi umroh ke tanah suci... Segala persiapan keberangkatan bapak akan dibantu oleh asisten saya. Bapak juga bersiap untuk itu.' 

"Alhamdulillah, ya Allah...Terima kasih, Alfian...Rahmat dan nikmat yang paling berharga bagi bapak diujung senja usia saya..." Pak Sumadi terharu.

Malam itu pak Sumadi tak dapat memejamkan mata. Oleh sebab itu ia berwudhu beribadah shalat sunat dan sujud syukur.

Tak henti-hentinya pak Sumadi mengucap hamdalah. Namun tiba-tiba butiran bening air mata jatuh di pipi pak Sumadi.

Disaat keluarganya tidak peduli di usianya yang susah diujung senja. Disaat itu pula Allah mengutus mantan muridnya yang kini sudah menjadi orang berpangkat dan berbudi mulia.

Kini pak Sumadi merasa semakin nyaman dan tentram untuk menjalani sisa hidupnya. Menunggu saatnya terbang ke tanah suci untuk menunaikan ibadah umroh.***(Tamat)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel