Caramu Itu Menyakitkanku, Tau!

Caramu itu menyakitkanku, tau! - Terik matahari siang itu seakan membuat ubun-ubun berdenyut. Musri membelokkan motornya ke jalan menuju kampus. Setelah memarkir motor ia nelangkah memasuki kampus. Ketika hendak menginjakkan kaki di tangga naik ke lantai dimana ruang kulihnya siang itu.

  "Bang Mus...tunggu...!" 

Sebuah suara memanggil. Musri menoleh. Sherina sedang menyusulnya dengan langkah cepat.

"Ada apa, Rin?" tanya Musri dingin kemudian melempar pandangan ke arah lain.

Sherina menelan ludah. Kecewa dengan sikap dinginnya Musri.

"Hm, kenapa sih bang Musri jadi sombong begini?"

"Apa enggak kebalik?" tukas Musri.

"Maksud Bang Mus?"

"Bukan abang tapi kamu yang sombong, Rin," jawab Musri cepat.

Sherina terdiam. Merasa serba salah. Namun ia tak ingin kondisi ini diketahui mahasiswa lain yang lalu lalang.

"Maaf, bang...Bagaimana kalau kita bicara di kantin?"

"Kita mau kuliah, bukan?"

"Sebentar saja, bang..." Sherina memohon.

"Baik. Ayo..." Musri melangkah agak bergegas. Sementara Sherina seperti sesak napas mengiringi langkah Musri di belakang.

***

Sekian menit keduanya tak bicara. Sherina menekur ke meja. Musri mengedarkan padangan ke seputar kantin yang memang lengang siang itu.

Musri tak habis pikir. Kenapa Sherina berubah begini. Tidak seperti sebelumnya.

Musri merasakan kalau selama ini Sherina telah menghindari dirinya. Enggan bertemu dengan dirinya.

Di dunia maya pun begitu. Ketika Musri membuka facebook, terlihat Sherina juga sedang online. Namun dengan cepat Sherina menutup sehingga terlihat offline.

Musri dapat mengetahui berapa lama Sherina mulai offline. Tidak hanya itu, pesan chat Musri dicuekin meskipun Sherina membacanya.

Namun Musri tidak berniat untuk menghapus pertemanan. Apalagi untuk memblokir pertemanan dengan Sherina.

"Caramu itu Sherina, menyakitkanku, tau!" kata Musri dalam hati seraya memandang Sherina sekilas.

Musri sudah bisa menerima kenyataan. Dirinya telah bertepuk sebelah tangan. Namun ia sudah bisa mengganggap Sherina tak lebih sebagai teman, seperti permintaannya.

"Aku tidak bisa menerima bang Musri. Sebaiknya kita berteman saja, bang..." Begitu kata Sherina waktu itu.

Namun kenyataannya setelah itu, Sherina bersikap aneh. Seakan-akan tidak mau lagi berjumpa dengan Musri. Di dunia nyata maupun Maya!

Kini Musri menatap Sherina yang masih menekur. Sherina mengangkat dagu dan memandang ragu pada pria berwajah dingin di depannya.

Musri menatap Sherina lekat-lekat. 

Entah kekuatan apa yang membuat Sherina tak ingin berpaling. Aneh, tak biasanya Musri menatap seperti itu. Sherina merasakan tatapan itu begitu penuh makna dan lembut.

"Rina, mengapa kamu seakan-akan menghindari abang selama ini? Padahal, abang sudah bisa menerima permintaanmu agar abang menganggap kamu sebagai teman..." ujar Musri dengan suara melunak.

"Aku takut, bang. Takut kalau abang marah padaku meskipun abang mengatakan dapat menerima semua itu," jelas Sherina.

Musri tersenyum. 

"Tapi tak mesti harus menghindari Abang, bukan? Justru caramu itu menyakitkan abang, tau!"

"Maafkan aku bang. Aku telah membuat abang merasa sakit, untuk kedua kalinya..."

"Ya, mungkin ini sudah suratan nasib abang..." 

Sherina melihat ketulusan ucapan Musri.

"Abang sudah mendapatkan penggantiku?"

"Kamu kira, semudah itu mendapatkan seseorang? Tidak, Rina. Apalagi, separuh hati abang sudah kamu bawa, Rina...."

Sherina terdiam. Ada rasa haru mendengar pengakuan Musri yang tulus.

Tak terasa butiran bening meleleh di pipinya. Tanpa ragu Musri menyusut butiran bening di pipi Sherina dengan tangan kanannya.

"Kamu jangan sedih, abang baik-baik saja kok. Abang sudah bisa menerima kenyataan ini. Kita berteman saja " ujar Musri tersenyum.

Angin siang berhembus sepoi menyeruak kantin kampus itu. Menyejukkan meskipun sesaat. ***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel