Biduanita Pentas Pesta Pernikahan
Biduanita pentas pesta pernikahan - Pak Suherman seakan tak berselera untuk menghabiskan menu di piringnya. Bukan karena menu pesta kenduri itu yang kurang enak. Tapi hatinya memang sudah mulai tidak nyaman ketika memasuki gerbang pesta, saat mengisi buku tamu undangan.
"Sendirian, pak? Ibuk kok nggak diajak?" Seorang gadis pemandu buku tamu bertanya. Tanpa diduga.
"Hm, ibuk kebetulan lagi tak enak badan," jawab pak Suherman sekenanya, sembari menulis di buku tamu undangan.
Gadis manis petugas buku tamu itu tidak salah. Wajar ia bertanya karena pak Suherman memang datang ke pesta sendirian.
Namun pertanyaan itu seakan memojokkan dirinya. Membuat hatinya sedih.
Tidak seorang pun di antara para undangan pesta itu yang dikenal pria paruh baya itu selain dari tuan rumah.
Pria yang mengenakan batik dan peci hitam nasional itu melangkah mencari tempat yang kosong setelah mengambil hidangan nenu Franchise itu.
Meja yang masih tersedia persis di pojok samping pentas musik hiburan pesta. Pak Suherman melangkah menuju tempat itu. Sepasang mata cantik melihat kehadiran pak Suherman dari atas pentas meskipun biduanita itu sedang bernyanyi.
Bunyi musik orgen tunggal dari sound system terdengar agak kencang. Namun bagi pak Suherman hal itu sudah biasa.
"Ayo, bapak yang pakai batik dan peci hitam, jangan sungkan-sungkan mencicipi menu dari tuan rumah...."
Pak Suherman terkejut manakala menyadari kalau yang dimaksud biduanita itu adalah dirinya. Ia punmenoleh ke arah penyanyi di atas pentas seraya mengangguk ramah.
Pria itu kagum dengan kecantikan sang biduanita. Namun bukan karena itu ia memandangnya agak lama. Perasaannya, biduanita itu seakan pernah dikenalnya. Namun ia tak ingat siapa nama dan dimana pernah berjumpa.
"Bagaimana kabarnya pak Herman?" tanya penyanyi itu disela-sela musik. Ternyata biduanita pentas itu turun dan menyalami pak Suherman.
"Baik..." balas pak Suherman menyambut uluran tangan sang penyanyi.
"Masih ingat dengan saya, pak? Saya murid bapak semasa di SMP di Bukittinggi sekitar duapuluh lima tahun silam?"
"Hm, wajahnya sih serasa ingat tapi namanya lupa, hehe...'
"Wajar, pak karena sudah lama. Saya Zurna, pak..." sang biduanita menyebut namanya seraya kembali menaiki pentas dan meneruskan bernyanyi.
Pak Suherman meneruskan menyantap menu pesta.
Sudah duapuluh lina tahun dan kini berjumpa lagi di pesta ini. Ya, pak Suherman ingat kembali kalau Zurna itu muridnya yang cantik dan rajin bertanya pelajaran di SMP.
"Baiklah hadirin semua. Berikutnya saya akan menyanyikan lagu kedua. Tapi kali ini tidak sendiri, duet dengan guru saya yang kebetulan bertemu kembali di pesta ini," ujar Zurna.
Pak Suherman terhenyak.
"Siapa lagi kalau bukan pak Herman. Ayo, pak, naik ke pentas..."
Pak Suherman menolak dengan isyarat gerakan tangannnya. Namun Zurna telah turun dari pentas.
"Ayo, pak. Kita nyanyi duet..."
"Jangan Zurna, bapak sudah tua, malu dong sama tamu undangan semua .."
"Siapa bilang bapak sudah tua? Masih seperti dulu dan nampak enerjik, pak..."
Pak Suherman akhirnya menurut saja ketika tangannya diraih dan ditarik Zurna.
Di pentas, pak Suherman segera negosiasi nada suara. Tidak begitu rumit dan lama. Musik dangdut lembut itu pun dimulai.
"Oke tamu undangan semua, inilah sebuah lagu, Syahdu..."
Pak Suherman dan Zurna melantunkan syair lagu Syahdu. Usai lantunan syair Syahdu, tamu undangan tak sadar mengacungkan jempolnya.
"Terima kasih ya, pak. Sampai jumpa..."
"Iya, Zurna." sahut pak Suherman sembari turun dari pentas.
Pak Suherman meninggalkan pesta. Ia senyum sendiri seraya geleng kepala menuju parkir motornya.***