Nyanyian Hati Maulidia
Maulidia menyapukan kedua telapak tangannya ke muka. Mengakhiri doanya usai sholat Magrib. Ia baru saja menampungkan tangan seraya bersimpuh di atas sajadah. Meminta kepada Allah supaya diberikan jalan terbaik dalam hidupnya.
Selama ini Maulidia sudah ikhlas menjalani hidup sebagai single parent. Membesarkan dua putrinya, Anisa dan Nabila.
Kini Anisa sudah berkeluarga dan diboyong suaminya ke pulau seberang. Sedangkan Nabila yang usianya terpaut jauh dengan Anisa akan memasuki usia remaja.
Maulidia menoleh ke arah Nabila yang sedang belajar. Ia telah duluan sholat Magrib.
Tiba-tiba Maulidia teringat sesuatu. Besok, genap usia Nabila 11 tahun. Gadis berangkat remaja itu tak pernah melihat ayahnya.
Tak disadari Maulidia meneteskan air mata. Jatuh menimpa mukenanya.
"Begitu menyedihkan nasibmu, nak..." gumam Maulidia pelan. Usia 3 bulan Nabila ditinggal ayahnya untuk selamanya. Mas Sumadi pergi meninggalkan dirinya dan kedua putrinya.
Nabila belum tahu apa-apa ketika mas Sumadi menghadap sang Khalik. Ia tak akan merasakan apa-apa. Akan tetapi dirinya merasa sangat kehilangan suami yang dicintainya.
Begitu pula Anisa, putri pertamanya yang saat itu sudah remaja, juga merasa kehilangan ayah yang sangat disayangi.
Sebelas tahun silam, Maulidia memang sangat terpukul. Namun dua putrinya, Anisa yang sudah remaja dan Nabila berusia yang baru 3 bulan. Menjadi obat jerih pelerai demam bagi Maulidia.
Sejak itu yang terpikirkan oleh Maulidia hanyalah bagaimana membesarkan Nabila dan melanjutkan sekolah Anisa yang masih duduk di bangku es-em-u.
Tak pernah berpikir lagi untuk mencari pengganti mas Sumadi. Ia bertekad menghabiskan sisa usianya untuk menghidupi kedua putrinya.
Maulidia kembali menyeka pipinya mengeringkan sisa butiran bening yang bergulir di pipinya.
Kini pikirannya melayang ke suatu tempat yang jauh. Mengingat seseorang yang telah menggoda jiwanya sejak beberapa hari terakhir, mas Arizon!
Mas Arizon sebenarnya bukanlah orang asing baginya. Bahkan masih ada sangkutan karib kerabat dengannya. Maulidia mengenal mas Arizon dari kecil sampai remaja.
Namun sejak menikah dengan pilihan hatinnya mas Harizon sudah jarang dilihatnya. Apalagi mas Arizon jarang pulang ke kampung. Sibuk dengan tugas dan keluarganya di rantau.
Maulidia menjadi terharu dan trenyuh ketika mendengar cerita mas Arizon tentang masalah dalam keluarganya.
"Lidia, saya ingin pulang ke kampung kita," begitu awal cerita mas Arizon beberapa minggu lalu melalui telepon WhatsApp.
"Apa salahnya, mas?" balas Maulidia.
"Maksud saya, ingin tua dan mati di kampung kita..." ujar mas Arizon. Lalu mas Arizon bercerita panjang lebar tentang dirinya.
"Kalau begitu keadaanmu mas, sebaiknya mas pulang sajalah ke kampung. Masih banyak kok orang di kampung yang akan mau menerima mas," ujar Maulidia jadi hiba. Sejak saat itu mas Arizon sering curhat dengan Maulidia.
"Carikan untuk mas satu orang ya, Lidia?"
"Jangan khawatir, mas. Yang sudah janda atau masih gadis, ada kok .."
Maulidia terdiam ketika mas Arizon menanyakan tentang dirinya. Lalu ia pun menceritakan keadaan dirinya apa adanya.
Mas Arizon terdengar tertawa lepas. Seakan melupakan keadaan dirinya yang sedang dirundung sedih. Bahkan mas Arizon berani menggoda dirinya.
"Kalau begitu tak perlu susah Lidya mencarikan satu orang untuk mas," goda mas Arizal.
Maulidia tersenyum sendiri. Ia sudah menangkap maksud mas Arizon....
"Mama kenapa bermenung? Mama sedang bersedih ya?" tiba-tiba Nabila sudah berdiri di samping Maulidia yang masih bersimpuh di atas sajadah.
Maulidia tersentak. Lamunannya buyar.
"Mama tidak bersedih, nak." sahut Maulidia mencoba tersenyum. Mama lagi senang mengingat sesuatu," sahut Maulidia.
"Oh..." balas Nabila sembari tersenyum mendengar jawaban mamanya.
"Besok Lila ulang tahun, bukan?" tanya Maulidia sembari membuka mukenanya.
"Iya, ma..."
Maulidia memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang.
Senandung hati yang sudah lama hilang kini terdengar kembali mengisi relung hatinya yang paling dalam.***