Undangan Baralek
Undangan baralek - Sebelum bulan puasa maupun setelah lebaran banyak orang yang akan 'baralek' di kampung. Tidak terkecuali pada masa pendemi Covid-19 sekalipun. Baralek atau pesta pernikahan sudah menjadi rangkaian prosesi pernikahan di negeri ini.
Di atas meja kerja di rumahku pun sudah banyak kartu undangan baralek yang diterima. Bahkan dalam satu hari, ada sampai dua atau tiga tempat baralek. Masih untung tempat baralek itu dalam suatu nagari atau kecamatan.
Kartu-kartu itu sudah kususun dengan rapi sesuai hari dan tanggal undangan baralek.
Ponsel androidku tiba-tiba berdering manakala sedang mengecek tempat baralek pada tanggal dan hari itu.
Panggilan WhatSapp dengan tampilan hanya nomor itu segera kuangkat.
"Ya, saya sendiri, ini dengan siapa?"
"Jangan sampai tidak datang, ya pak? Kami tunggu di tempat baralek...," sahut suara di balik telepon genggam tanpa menjawab pertanyaanku.
"Oke, oke. Saya pasti datang. Tapi siapa ini dan tempat baralek dimana?" Kembali aku bertanya sembari menyambar tiga kartu undangan yang baralek pada hari dan tanggal ini.
"Hm..., pak guru akan tahu sendiri nanti kalau sudah sampai di lokasi baralek..." sahut suara perempuan di seberang sana, membuat aku penasaran.
"Iya deh, tapi kasih tahu dulu, baralek yang dimana. Saya ada tiga kartu undangan baralek hari dan tanggal ini," desakku kemudian.
"Lihat saja kartu undangan yang berwarna merah maron, pak guru...!"
Belum sempat aku berucap selanjutnya, si penelpon sudah menutup percakapan telepon WhatSapp itu.
Kebetulan diantara tiga kartu undangan baralek memang ada satu yang berwarna merah maron. Aku segera membuka kartu undangan yang dimaksud.
Melihat nama dan foto di kartu undangan baralek, aku memang mengetahui pengantin wanitanya adalah mantan muridku.
Dapat kupastikan kalau si penelpon tadi bukanlah pengantin wanita yang ada di foto kartu undangan. Melainkan suara mama muda. Suara yang renyah.
Tapi keraguan mulai bersarang dihatiku. Lokasi pesta yang tertera di belakang kartu undangan sangat asing bagiku.
Apalagi sudah beberapa hari ini selalu turun hujan terutama malam hari. Diperkirakan akses dan lokasi pesta agak becek. Apalagi yang jauh dari jalan raya.
Namun naluri keguruan telah mendorong hatiku untuk tetap memenuhi undangan baralek, apalagi yang mengadakan baralek adalah mantan muridku sendiri.
Akhirnya aku sampai di lokasi baralek meskipun harus menempuh jalan yang cukup rumit dengan mengendarai motor.
Kedatanganku disambut oleh penerima tamu. Setelah mengisi buku tamu aku segera dipersilahkan mengambil menu dan mengambil tempat di depan, tidak jauh dari pentas baralek.
Sebelum menyuap menu aku menoleh ke kursi pelaminan. Pengantin wanita melambaikan tangan ke arahku. Aku mengangguk ramah.
"Maaf, pak guru..."
Tiba-tiba seorang wanita sudah berdiri di sebelah kananku.
Aku sedikit tersedak mendengar suaranya. Persis suara wanita yang tadi menelponku tadi melalui panggilan WhatSapp.
Aku mendongakkan wajah, melirik ke pemilik suara itu.
"Silahkan duduk, buk..." ujarku kemudian.
"Jangan dipanggil ibuk dong, pak. Panggil saja, Mila... Oh, rupanya bapak sudah lupa dengan saya?" protesnya agak sewot.
"Waduh! Kamu Sarmila, ya?" Tiba-tiba aku teringat wanita cantik berbaju merah menyala yang berdiri dekatku ini. Tanpa sadar aku melekatkan punggung tangan di jidatku.
Sarmila mengangguk seraya tersenyum.
"Habis, kamu semakin cantik aja deh, pantasan saya lupa, hehe..."
"Ihhh..., pak guru ini masih saja seperti dulu,"
"Seperti dulu gimana?"
"Gombalnya itu lho, pak..."
"Hehehe ..."
"Bapaknya anak-anakmu, mana. Kok tidak terlihat?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Sudah lama pergi, pak. Pergi untuk selamanya."
"Oh,...maafkan saya, Mila. Saya telah mengungkitnya kembali.
"Tidak apa-apa kok, pak. Oh ya, dilanjutkan makannya, pak. Saya tunggu..."
Aku menghabiskan makanan di piring. Selera makanku sebenarnya semakin meningkat. Tapi malu untuk menambahnya kembali.
"Ibuk kok tidak diajak, pak?" Tiba-tiba Mila bertanya.
Aku kembali terbatuk kecil.
"Hm, panjang ceritanya, Mila....."
Sarmila mengangguk-angguk maklum setelah mendengar ceritaku.
"Duh, kasian dengan bapak. Semoga bapak sabar." timpalnya kemudian....
"Pa...! Bangun pa, sudah azan Zuhur, tuh..." Aku tersentak dan bangun ketika mendengar putriku membangunkan seraya menepuk-nepuk kakiku.
Ternyata aku telah bermimpi di siang bolong!***