Jika Hati Lina Sudah Terpaut
Suasana panorama tebing terlihat ramai sore itu. Kendaraan roda empat maupun roda dua bersileweran, melewati jalan berliku di sepanjang jalan di pinggiran tebing. Banyak pula kendaraan yang berhenti di pinggir jalan sisi tebing. Orang-orang menikmati keindahan alam sore sembari berfoto ria dengan latar tebing yang dicor maupun bentang alam sebelah barat.
Sebuah motor matic warna merah kombinasi hitam melambat lajunya. Kemudian pengendara nya meminggirkan motornya di dekat parkiran motor.
Pengendaranya seorang pria yang terlihat tidak muda lagi. Sementara perempuan muda, yang membonceng di belakang, turun dari jok belakang.
Sepintas, kedua orang itu terlihat seperti antara seorang ayah dengan anaknya. Tetapi ketika mereka melangkah berdampingan. Menuju ke arah lapak penjual minuman yang ada di dekat parkiran motor. Mereka bukanlah antara ayah dengan anak.
"Lina mau pesan apa?" tanya sang pria sembari menatap wajah sang wanita yang dipanggil Lina.
"Terserah pak Herdi saja," sahut Lina.
"Kalau begitu kita pesan juice jeruk dua,"
Lina mengangguk setuju.
Di bangku lapak minuman, pria berumur dan perempuan muda itu duduk saling berhadapan.
"Ah, jangan panggil saya bapak di tempat seperti ini. Panggil saja saya, Uda atau Abang," Herdi pura-pura protes merasa kepedean.
"Oke deh, Bang..." sahut Lina tersenyum geli.
Dalam hati ia merasa risih kalau harus memanggil Uda atau Abang kepada pria yang mulai nampak beruban di kepalanya.
"Apa Lina tidak merasa malu bepergian dengan Abang ke tempat ramai seperti ini?"
"Kenapa mesti malu?"
"Ya, Lina sudah maklum kalau kita terpaut usia yang sangat jauh."
"Hm, gimana ya, Bang? Baiknya tak usah dibicarakan hal ini lagi." cetus Lina.
"Oh, maafkan Abang. Tapi Lina perlu tahu kalau maksud Abang hanya untuk meyakinkan diri Abang sendiri." ujar Herdi merasa bersalah.
"Santai saja, Bang..."
"Bukankah kalau Lina mau mencari calon pengganti almarhum suamimu, bisa memilih yang seumur atau sederajat?" sambung Herdi.
Lina terdiam.
Apa yang dikatakan pria di hadapannya itu memang benar.
Tetapi saat ini ia tidak memikirkan calon suami yang masih muda atau sudah berumur.
Bagaimanapun ia tidak boleh menurutkan kehendak dan kesenangan hatinya sendiri. Lebih penting dari itu memikirkan masa depan gadis kecilnya, Marina.
Yang ia butuhkan bersama si kecilnya saat ini adalah pendamping yang bertanggung jawab terhadap diri dan Marina.
Gadis kecil ini sangat butuh perhatian dan kasih sayang. Terlebih lagi masa depan pendidikannya.
"Lho? Kok melamun?"
Lina tersentak, tersenyum malu. Senyum janda muda beranak satu itu terlihat semakin cantik di mata Herdi.
"Ehem...ehem..." Herdi mendehem.
"Iiih... Abang tega deh mempermainkan saya," gerutu Lina.
"Abang tidak mempermainkan Lina kok. Tapi menegur agar Lina tidak melamun, gitu..."
Lina menghela nafas. Lalu ia mengatakan kalau dirinya bisa memilih calon pengganti almarhum suaminya yang seumur atau sebaya. Bahkan mungkin yang lebih ganteng atau kaya.
"Kalau Lina mau, dianya tidak mau. Atau kalau dianya mau, apakah bisa bertanggung jawab terhadap Lina maupun Marina?" ujar Lina kemudian.
Herdi manggut-manggut.
"Kamu benar, Lin..."
"Kalau abang sendiri bagaimana? Abang benar-benar serius, bukan?" tanya Lina untuk meyakinkan dirinya.
Kini Herdi yang terdiam.
Ia merasa bahagia dan muda lagi, ketika Lina tidak menolak isi hatinya sebulan lalu.
Tapi posisinya saat ini jauh lebih sulit. Statusnya tidak tentu arah saat ini dengan istrinya. Herdi sulit untuk mengambil keputusan. Itu pun sudah diketahui oleh Lina.
"Lho? Kini Abang yang melamun..." ujar Lina mengagetkan Herdi.
Ia menatap Lina dengan tatapan hampa.
"Benar Abang tidak serius?"
"Abang serius, Lina. Tapi...."
"Tapi abang bingung dengan status dan keadaan Abang saat ini?" pintas Lina.
Herdi mengangguk lemah.
"Saya sudah paham dengan posisi abang yang serba sulit saat ini. Tapi Bang, mari kita serahkan saja pada Yang Mahakuasa. Mudah-mudahan masalah Abang bisa menemui titik terang..." ujar Lina bijaksana.
Herdi terdongak.
"Lina, ucapanmu barusan membuat Abang sadar dan tergugah. Kalau kita ikhlas menghadapi tantangan hidup ini kemudian berdoa, insyaallah akan terwujud yang kita inginkan." tutur Herdi Optimis.
"Saya juga meyakini itu, Bang."
"Terima kasih atas semua ini, Lina. Bantu Abang dalam setiap doamu agar Abang menemukan titik terang dan kita...." Herdi menggantung kalimatnya.
"Kita, bagaimana?" Lina penasaran.
"Bisa bersatu ..."
Angin perbukitan berhembus tiba-tiba. Menyapu wajah Lina dan mengibarkan ujung jilbabnya.
"Hm, sudah hampir senja, yuk kita pulang..." seru Hardi.
"Iya, tapi kita berfoto dulu di tebing itu,"
"Iya, deh ..." sahut Herdi berdiri dan membayar pesanan minuman mereka.
Usai berfoto ria kedua insan beda usia itu meninggalkan panorama tebing itu.***