Kalau Sudah Jodoh
Aisyah tersenyum sembari melorotkan masker pelindung ke dagunya. Tiba-tiba bahunya terguncang-guncang, tak dapat menahan tawa.
"Om lucu deh...," cetus Aisyah kemudian sambil menempati tempat duduk di gazebo sebuah kafe di area wisata itu.
"Lucu apanya? Ah, rasanya enggak begitu..." balas Rahmat agak bingung, sambil duduk di seberangan meja. Rasanya barusan ia telah berbicara biasa-biasa saja.
"Iya, cara om berbicara. Itu yang membuat aku jadi tertawa, hehe..."
"Oh ya...?" Rahmat memandang wajah Aisyah sebentar.
Diam-diam ia mengagumi senyuman Aisyah. Sembari manggut-manggut kembali Rahmat memandangi wajah Aisyah. Ternyata senyumnya sangat memesona. Matanya berbinar-binar. Pipinya tanpa riasan make-up terlihat merona. Bibirnya tanpa polesan lipstik nampak bak asam seulas.
"Sepertinya, orang yang jarang senyum akan terlihat sangat menawan ketika terlihat sekali-sekali tersenyum." Rahmat berkata dalam hati.
Aisyah memang jarang terlihat tertawa. Senyumnya pun seakan mahal. Apalagi semenjak masa pandemi Covid-19. Ia selalu menutup mulut dengan masker pengaman.
"Hm, apa Aisyah akan terus menjadi singel parent, belum berniat mencari pendamping sekaligus papa baru bagi si kecil, putrimu?" tanya Rahmat sangat hati-hati dan tersendat-sendat.
Aisyah terdiam.
"Oh, maafkan aku jika pertanyaan itu tidak berkenan bagimu, Aisyah." pintas Rahmat cepat. Merasa bersalah.
Aisyah menggeleng lemah. Lalu menarik nafasnya. Seakan ada sesuatu yang sedang menghimpit dan membuat dadanya sesak.
"Tidak semudah itu, Om..." Akhirnya Aisyah membuka mulut.
"Sulit melupakan papanya si kecil?"
"Bukan itu. Setelah kepergian papa si kecil untuk selamanya, aku hanya berpikir bagaimana membesarkan dan mendidik si kecil supaya sukses kelak..."
Rahmat manggut-manggut maklum.
"Si kecil satu-satunya kebanggaan dan penyejuk hati saya, om..." timpal Aisyah.
"Aku jadi maklum Aisyah, kalaupun ada pengganti papanya si kecil, tentulah orang yang mengerti keadaanmu dan ikut bertanggungjawab atas masa depannya, bukankah begitu Aisyah?"
Aisyah kembali mengangguk.
"Sudah ketemu calonnya, Aisyah?"
Aisyah mengangguk ragu. Lalu menatap kearah Rahmat. Melihat reaksi pria duda di hadapannya.
Aisyah mencoba mengamati perasaan Rahmat. Mengetahui galaunya hati pria itu ketika mendengar pengakuannya yang sudah punya calon pengganti papanya si kecil.
Tetapi Rahmat malah menekur. Tak sanggup membalas tatapan Aisyah. Ia menelan ludah. Pahit. Tenggorokannya terasa sakit.
Kecewa mulai membiang di hati Rahmat yang paling dalam. Perlahan menghela nafas, seakan beban seberat sekarung semen sedang menghimpit rongga dadanya.
"Ternyata Aisyah sudah ada calon pengganti papanya si kecil!" Rahmat membatin.
"Om..." Suara Aisyah terdengar pelan.
"Iya, Aisyah."
"Kenapa om diam dan bersedih?"
"Hm, enggak...enggak kok... Om nggak bersedih kok..." sahut Rahmat gugup dan berbohong.
"Kalau ada yang lebih baik tolong carikan satu untuk aku, ya Om?"
Rahmat memaksa diri mengangguk. Ia menatap kecewa. Ucapan Aisyah barusan seakan memukul hatinya dengan palu besi.
Suasana hening sejenak.
"Om, selama ini om anggap aku ini, apa? Aku mau ikut om ke tempat ini sebagai apa...?" Suara Aisyah terdengar berat.
Ia menyusut butiran bening yang bergulir di pipinya. Kecewa dengan reaksi Rahmat.
"Aisyah, apa maksudmu?"
"Apa om tidak pernah arif dengan keadaan selama ini?"
"Jadi...?"
"Iya, aku kira om mengerti..."
"Tapi...?"
"Om mau berkilah...?"
"Bukan itu, tapi usia kita jauh beda, Aisyah..." pintas Rahmat.
"Oh, itu alasan om? Ya, sudah. Selama ini aku salah duga dengan sikap om terhadap aku," Aisyah menekur.
"Aisyah..." ujar Rahmat pelan seraya meraih tangan Aisyah di atas meja. "Aku seakan tidak percaya dengan kenyataan ini, Aisyah. Habis, saya terlahir terlalu jauh duluan dari Aisyah..." Rahmat tersenyum.
Aisyah mengangkat wajah. "Om...."
"Aisyah... Saya sudah paham sekarang. Kalau jodoh takkan kemana. Terima kasih, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa namun aku akan berusaha untuk membuatmu bahagia dan si kecil mewujudkan cita-citanya..."
Angin sore bertiup sekonyong-konyong. Dua helai daun mahoni gugur ditiup angin dan hinggap menimpa tangan Rahmat dan Aisyah.***