Jetski

Jetski - Jefri merasa konyol. Tadi ia telah memesan sebuah jetski. Ketika ia baru sampai di Pulau Cingkuak itu. Namun kemudian ia berubah pikiran. Untuk apa naik jetski kalau hanya sendirian.

Ingin membatalkan saja pesanannya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin. Tidak enak hati dengan petugas pengelola jet air itu....

"Maaf, bang... Permisi, kami mau numpang duduk juga di gazebo ini." Tiba-tiba seorang perempuan telah berada di samping Jefri di sebuah pondok gazebo.

Jefri tersentak kaget. Namun dengan cepat ia menoleh dan tersenyum kepada perempuan itu.

"Oh, silahkan buk ..." sahut Jefri agak gugup. Sementara bersama perempuan itu ada seorang perempuan yang jauh lebih muda.

"Kok sendirian? Mana anggota keluarganya, bang?" tanya perempuan itu kemudian 

Jefri tersenyum geli. Menggeleng lemah tanpa menoleh kepada yang bertanya.

"Hm, tadi saya kesini sendiri buk..." balas Jefri kemudian.

"Keluarganya kok tidak diajak?"

Jefri terdiam. Ada raut sedih di wajahnya. Ia menarik nafas dalam dan kemudian menghempaskannya keluar.

"Oh, maaf bang, saya telah lancang bertanya." ujar perempuan itu merasa bersalah.

"Tidak apa-apa buk. Oh, ya. Ini anaknya ya, buk?" Jefri melirik perempuan yang lebih muda di sebelahnya.

"Iya, bang...."

"Papanya si gadis kenapa tidak ikut, buk?"

"Papanya sudah meninggalkan kami untuk selamanya, bang..."

Jefri terdiam. Kini ia yang merasa bersalah.

"Maafkan saya, buk. Sudah mengungkit kisah pribadi ibuk dan putrinya." ujar Jefri dengan suara lemah.

Perempuan itu tersenyum seraya menggeleng. "Hm, tidak apa-apa bang..."

Jefri manggut-manggut.

"Hm, saya Jefri. Ibuk dan putrinya, siapa?" Jefri memperkenalkan diri.

"Saya Sulis dan putri satu-satunya saya ini, panggil saja Menik..."

"Pak...! Jadi apa tidak naik jetski?" Tiba-tiba petugas jasa sewa jetski menyela bertanya.

"Iya, jadi pak! Tapi tunggu sebentar," sahut Jefri. Sang petugas memberi kode sip dengan jempol kanannya.

"Mau ikut dengan saya naik jetski?" Jefri menawarkan jasa. 

Sulis melirik putrinya, Menik. Seakan minta persetujuan pada putri tunggalnya itu.

"Kamu Menik, juga boleh ikut. Kita bertiga naik jetski..." pintas Jefri.

"Kamu mau, Menik?" tanya Sulis.

"Hm, mama saja yang ikut dengan om Jefri. Menik tunggu disini," Menik mengelak dengan halus.

"Nggak apa-apa, mama ikut dengan Om Jefri?" 

"Nggak apa-apa, mama..." 

"Hayo, kita turun...." ujar Jefri sembari melangkah ke tempat jetski terparkir.

Petugas wisata membagikan dua pelampung. Sementara mesin jetski telah dinyalakan oleh petugas itu. 

Jefri sudah berada di atas jok jetski dan memegang setangnya.

Tiba-tiba Sulis jadi ragu. Ia merasa heran pada dirinya. Mengapa ia sudah seakan akrab dengan Jefri. Padahal ia barusan mengenal pria ini. 

"Ayo, Lis. Tunggu apalagi...?" desak Jefri mengeraskan volume suara diantara bunyi mesin jetski.

Seakan dihipnotis Sulis menaiki jetski dan duduk di jok belakang. 

Setelah didorong sedikit oleh petugas, jetski sudah bergerak meninggalkan garis pantai.

Terlihat dari jauh kalau Jefri membawa jetski dengan kecepatan sedang. 

Menik, putrinya Sulis, hanya geleng-geleng kepala. Heran. Mengapa tidak?

Dalam waktu singkat, mamanya bisa akrab dengan pria yang baru dikenalnya.

"Tapi om Jefri kelihatannya orang baik-baik. Semoga mama juga akan baik-baik saja," Menik berkata dalam hati.

Jefri dan Sulis telah kembali ke pondok gazebo dengan wajah ceria.

"Bagaimana mama, asyik tidak naik jetski?" Menik bertanya menggoda.

"Ih, kamu anak kecil mau tau saja..," sahut Sulis pura-pura marah 

"Tentu saja asyik, Menik..." potong Jefri senyum-senyam. "Hm, baiknya kita cari camilan dulu di warung itu," ujar Jefri menunjuk sebuah warung tak jauh dari pondok gazebo.

"Ayo...." Sulis setuju.

"Ayolah Menik, temani mamamu..." timpal Jefri.

"Ndak usah, om. Mama sudah gede kok .." tolak Menik.

Jefri tersenyum. "Okelah kalau begitu,"

Kini Jefri sudah duduk di bangku warung. Sulis mengambil tempat duduk di seberang meja sehingga posisi mereka berhadapan.

"Boleh abang berterus terang padamu, Lis?"

"Hm, gimana ya?"

"Boleh ya?" desak Jefri.

Sulis mengangguk. 

"Ya, boleh. Tapi tentang apa?"

"Begini, sejak kita berkenalan tadi, Abang merasakan ada sesuatu yang lain terasa dalam diri ini. Abang suka padamu, Sulis..."

Sulis terdiam. 

"Abang maklum. Oleh sebab itu kamu tak perlu menanggapinya sekarang. Abang tunggu sampai kapan pun. Setelah ini, kita mungkin bisa berjumpa lagi, paling tidak di media sosial." ucap Jefri sembari mengeluarkan android dari kantong celananya.

Jefri memberikan nomor WhatsApp untuk disimpan oleh Sulis.

"Tapi kapan kita dapat bertemu lagi, bang?" tanya Sulis dengan suara pelan. 

"Jika Allah berkehendak, mungkin kapan saja bisa, Lis..." 

"Duh, asyiknya ...." goda Menik datang menghampiri.

Jefri dan Sulis hanya tersenyum.

"Ma, ayo kita pulang ..."

"Iya, kita akan pulang, nak..." sahut Sulis.

"Tapi Om Jefri, belum boleh ikut dong ma..." 

Kembali Jefri dan Sulis tertawa.

"Tentu saja, om belum boleh pulang bersama kalian," jawab Jefri sembari tersenyum.

Angin sore berhembus. Sulis dan Menik pamit pulang lebih dulu. Sementara Jefri masih terpaku duduk di bangku warung.

Memandangi dua perempuan yang makin lama semakin menjauh dan hilang di tengah keramaian pengunjung pantai.

Jefri merasa ada yang hilang dari dirinya. Namun akhirnya ia sadar. Hatinya telah dicuri dan dibawa pergi oleh Sulis.

"Ini gara-gara jetski" ujar Jefri membatin. ***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel