Perspektif Profetik dalam Pendidikan Karakter

Perspektif profetik dalam pendidikan karakter - Visi Universitas Muhammadiyah Prof Dr. HAMKA adalah menjadi Prophetic Teaching University yang mencerdaskan secara spiritual, intelektual, emosional, dan sosial untuk mewujudkan peradaban yang berkemajuan.

Pendidikan karakter merupakan pendidikan akhlak, karena itu perlu adanya pendidikan karakter untuk membentuk akhlak peserta didik berdasarkan konsep yang diajarkan oleh Rasulullah sebagai pendidik yang paling berhasil dan seorang yang menjadi suri tauladan bagi umat manusia.

A. Apa itu filsafat profetik?

Penggunaan kata filsafat 'profetik' dalam kajian ini dimaknai sebagai refleksi mendalam tentang kemanunggalan (ittihad) Tuhan Yang Maha Esa (ahad) yang transenden dan sakral dengan manusia sebagai makhluk yang relatif dan profan.

Menurut muslim yang terilhami oleh nilai filosofi profetik akan berperilaku positif yang berkualitas, santun, terus berbuat untuk kebaikan bersama, memegang hukum dan (Moh. Roqib, 2013) aturan, disiplin, dan suka damai. Dalam filsafat profetik menawarkan pemahaman pada persoalan yang baru secara radikal tentang alam dan hukum dialektik kepadanya yang bermuara ada tiga hal yaitu:

a). Adanya hubungan yang riil dan tidak riil antara Tuhan dan manusia. Setiap benda tidak dapat dilihat sepenuhnya kecuali dalam Tuhan dan Tuhan tidak dapat dilihat sepenuhnya kecuali dalam benda.

b). Namun, berdasar pada unity atau kesatuan di atas muncul hukum bahwa tindakan dan hukum apa pun dari seorang Muslim merupakan manifestasi ekspresif dari agamanya.

Pada keyakinan berada di dalam sebuah tindakan menunjukkan dan memerlihatkan adanya iman yang ada di dalam tersebut. Berdasarkan fungsi profetik selama fungsi itu tidak keluar dari syariat.

c). Orang yang tidak akan mampu membuktikan adanya Tuhan dengan akal karena manusia belum menemukan cara berpikir untuk mengantarkan iman kepada Tuhan.

Pendidikan belum mempunyai jiwa yang dimaksud dalam pendidikan disini tentang menghadirkan kembali misi nilai-nilai kenabian keagamaan untuk disajikan ke ruang publik.

Dalam pendidikan, khususnya pendidikan karakter yang telah menjadi kesepakatan decion making pendidikan Indonesia harus menampilkan sosok manusia yang di jadikan panutan atau model figur yang harus ditiru sebagaimana sesuai dengan output dari pendidikan karakter itu sendiri.

Di sinilah misi filsafat profetik mengaitkan hubungan Allah yang transenden dengan alam yang relatif dan tentatif.

Realitas dan eksistensi yang mutlak serta kepastian sifat dasarnya dapat dibuktikan melalui pengalaman luar biasa yang disebut intuisi.

Intuisi ini bertujuan untuk memahami keseluruhan realitas. Intuisi adalah pengalaman unik yang hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang yang dipilih. 

Secara etimologis, kata profetik berarti kenabian dan juga “nujum”. Nabi mampu memberikan prediksi masa depan di dunia juga di akhirat.

Nabi adalah manusia yang berkarakter unggul (exellent character) dan ideal secara fisik dan psikis yang mampu menjalin komunikasi efektif dengan Tuhan dan malaikat (Q.S. Ali Imran [3]: 79).

Setelah semuanya siap, potensi yang serba utama itu semakin melekat kuat pada dirinya sehingga ia dikenal memiliki sifat yang niscaya (wajib), yaitu jujur, amanah, komunikatif, dan cerdas. Ada 4 sifat kenabian itu :

- Menjadi figur yang selalu berpedoman pada nurani dan kebenaran (conscience center)

- Menjaga profesionalisme dan komitmen (highly commited)

- Menguasai keterampilan berkomunikasi (communication skill)

- Sekaligus mampu menyelesaikan masalah (problem solver).

Dalam konteks Islam praktik edukasi yang dilakukan oleh nabi yaitu :

a). Nabi harus menguasai materi yang terkumpul dalam Alquran dan hadis yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik atau umat sepanjang masa. 

b). Nabi juga menguasai metodologis yang efektif dan efesien sehingga pesan yang disampaikan menyentuh jiwa umat sebagai subjek didik.

c). Dengan melakukan kontrol dan evaluasi mutu dengan amar ma’ruf (perintah melakukan hal positif), nahi munkar (larangan berbuat negatif), dan rekomendasi terkait dengan kebenaran (haq) dan kesabaran. 

d). Nabi memosisikan diri sebagai model ideal bagi umat (subjek didiknya) dalam berpikir, bersikap, berperilaku, dan menata masa depan di dunia dan akhirat. 

B. Pendidikan karakter profetik

Dalam konteks pendidikan karakter, maka dapat dipaparkan bahwa istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak (Oxford). (Sofwan Amir, dkk, 2011:4)

Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. (Fathul Mu‟in, 2011:293) 

Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang.

Definisi dari “The stamp of individually or group impressed by nature, education or habit.

Nilai karakter profetik atau kenabian yang utama adalah sifat-sifat wajib bagi rasul yaitu jujur (shiddiq), amanah, komunikatif (tabligh), dan cerdas (fathanah).

Pemahaman terhadap kelebihan dan kelemahan ini terus berdialog dengan Tuhan yang transenden dan alam yang secara internal berwujud self correction atau muhasabah an-nafs.

Dan hal tersebut secara eksternal akan berwujud amar ma’ruf (humanisasi) dan nahi munkar (liberasi).

Kontekstualisasi dari keempat sifat kenabian itu ialah terbentuk figur sebagai berikut :

- Selalu berpedoman pada nurani dan kebenaran, tidak mengikuti hawa nafsu dan pengaruh lingkungan yang negatif.

- Menjaga profesionalisme dan komitmen yang dikatakan akan dilaksanakan dengan konsekuen.

- Menguasai keterampilan berkomunikasi dengan berbagai kalangan dan strata.

- Menjadikan sosok kunci (key person) yang mampu menyelesaikan berbagai kasus dan problem yang muncul.

Pendidikan Karakter memiliki 3 Pilar Profetik yaitu:

1. Pilar transendensi atau iman

Individu yang telah terinternalisasi nilai profetik akan memiliki karakter seperti: 

a. Mengakui adanya kekuatan supranatural

b. Mendekatkan diri dan ramah dengan lingkungan (hidup) sebab lingkungan dimaknai sebagai bagian dari ayat-ayat Allah dan selalu bertasbih kepada-Nya

c. Selalu berusaha untuk memperoleh kebaikan Tuhan sehingga ia tidak akan putus asa sebab karunia Allah ada di mana-mana.

2. Pilar humanisasi atau amar ma’ruf 

Individu yang terinternalisasi oleh nilai ini akan memiliki karakter seperti :

a. Memandang seseorang secara total meliputi aspek fisik dan psikisnya atau raga dan jiwanya

b. Menghindarkan berbagai bentuk kekerasan terhadap siapa pun dan di mana pun termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

c. Membuang jauh sifat kebencian. Setiap orang memiliki keterbatasan sehingga dimungkinkan melakukan kesalahan atau ketidaksempurnaan.

3. Pilar liberasi atau nahi munkar 

Individu yang terinternalisasi nilai ini akan memiliki karakter di antaranya:

a. Memihak pada kepentingan rakyat (wong cilik)

b. Menegakkan keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan

c. Memberantas kebodohan dan keterbelakangan sosial ekonomi (kemiskinan) melalui pendidikan yang membebaskan dan pengembangan ekonomi kerakyatan.

Adapun Pendidikan karakter dalam perspektif profetik sesungguhnya tidak lepas dari prinsip-prinsip pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai Alquran dan sunnah.

Prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut :

1). Prinsip integrasi (tauhid) yang memandang adanya wujud kesatuan dunia-akhirat.

Karena itu, pendidikan akan meletakkan porsi yang seimbang untuk mencapai kebahagiaan di dunia sekaligus di akhirat.

2). Prinsip keseimbangan, Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip integrasi dunia akhirat.

3). Prinsip persamaan dan pembebasan yang dikembangkan dari nilai tauhid bahwa Tuhan adalah Esa yang karenanya setiap individu bahkan semua makhluk adalah dari pencipta yang sama.

Perbedaan hanyalah sebagai unsur untuk memperkuat persatuan. 

4). Prinsip kontinuitas dan berkelanjutan ini dikenal konsep pendidikan seumur hidup (life long education) dan dikenal juga itilah istiqamah.

5). Prinsip kemaslahatan dan keutamaan yaitu Ruh tauhid apabila menyebar dalam sistem akhlak diri seseorang akan memiliki daya juang untuk membela dan mendukung pada hal-hal yang maslahah atau berguna bagi kehidupan.

Dalam kata lain manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama).

Karena memiliki fitrah ini, kemudian manusia dijuluki sebagai "homo devinans" dan "homo religious" yaitu makhluk bertuhan atau beragama.

Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau peluang untuk berkembang.

Akhlak yang berdimensi tauhid, hubungan kepada Allah (ḥablum min Allah), hubungan terhadap sesama manusia (ḥablum minan-naas), dan hubungan dengan alam untuk memberikan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil al-alamin) sebagai pemakmur bumi (khalīfah fi al ardh).

C. Peran seorang guru dalam pendidikan karakter

Tugas pendidik ialah mengupayakan perkembangan seluruh potensi subjek didik. Pendidik bukan saja bertugas mentransfer ilmu, tetapi juga yang lebih tinggi dari itu adalah menransfer nilai-nilai (transfer of knowledge and values) ajaran Islam itu sendiri dengan semangat profetik.

Pendidik memiliki kedudukan sangat terhormat, karena tanggung jawabnya yang berat dan mulia.

Pendidik dapat menentukan atau paling tidak memengaruhi kepribadian subjek didik.

Namun, pendidik yang baik tidak hanya memengaruhi individu, melainkan juga dapat mengangkat dan meluhurkan martabat dan karakter peserta didik atau suatu komunitas (Al-Abrasyi,t.t.:163).

Guru atau pendidik membawa amanah Ilahiyah untuk mencerdaskan kehidupan umat dan membawanya taat beribadah dan berakhlak mulia (Zuhairini dkk, 1977:33).

Karena tanggung jawabnya yang tinggi, pendidik dituntut untuk memiliki persyaratan tertentu baik yang berkaitan dengan kompetensi profesional, sosial, pedagogik, maupun yang berkaitan dengan kompetensi kepribadian.

Keutamaan yang diberikan Allah kepada manusia adalah fitrah dan potensi manusiawi yang educable.

Beberapa syarat kepribadian, secara lebih lengkap, yang harus dimiliki oleh pendidik agar bisa menjadi pendidik yang baik adalah (Al-Abrasyi, t.t.:136-137): 

- Zuhud dan ikhlas

- Bersih lahir dan batin 

- Pemaaf, sabar, dan mampu mengendalikan diri

- Bersifat kebapakan atau keibuan

- Mengenal peserta didik dengan baik (baik secara individual maupun kolektif).

Kesimpulan 

Pendidikan karakter dalam perspektif profetik lebih menitikberatkan pada sikap peserta didik. Hal tersebut pada kehendak positif yang selalu dibiasakan, sehingga mampu menimbulkan perbuatan dengan mudah, tanpa pertimbangan pemikiran terlebih dahulu dalam kehidupan sehari-hari.

Penerapan pendidikan karakter yang sangatlah komplit, tidak hanya pada kejujuran saja, akan tetapi juga terkait dengan bagaimana mereka manjadi anak yang selalu terbiasa hidup disiplin, hemat, berfikir kritis, berperilaku qanaah, toleran, peduli terhadap lingkungan, tidak sombong, optimis, terbiasa berperilaku ridha, produktif, dan obyektif.

Untuk pengembangan pendidikan karakter tersebut sudah waktunya ditengok sistem yang pernah meraih sukses besar dan diakui dunia yaitu pendidikan profetik. Yakni pendidikan yang bertumpu pada sifat-sifat kenabian dan telah berhasil mendidik para sahabat yang berprestasi dengan keagungan akhlak yang terakui.

Pendidikan karakter dalam perspektif profetik ini juga sebagai tawaran baru yang mengundang para pakar untuk mengembangkan pada berbagai komponen pendidikan seperti pendidik dengan paradigma profetik, kurikulum dengan paradigma profetik, dan seterusnya.

Baca juga : Membumikan Paradigma Profetik dalam Paradigma Pendidikan di Indonesia

Dan, sejarah telah mencatat keberhasilan Nabi Muhammad Saw.*** (*Desti Amelia)

*Oleh : Destia Amelia, Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, PG PAUD FKIP.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel