Cerpen Anak Bako
Musri memutar sedikit kepalanya ke kiri sembari terus memandang ke depan. Siap mendengar jawaban Evie yang duduk di boncengan belakangnya.
“Rasanya aku memang pernah mendengarnya, bang.” jawab Evie mengencangkan suaranya.
Tapi waktu itu Evie masih anak-anak, masih kelas dua es-de. Ia belum mengerti percakapan yang didengarnya tentang pulang ke anak bako.
“Ohhh, aku waktu itu sudah paham. Maklum, sudah kelas dua es-em-pe.” timpal Musri.
“Tapi sekarang aku sudah mengerti juga, bang...” sambung Evie.
“Hehe... Tentu saja karena Evie sudah dewasa,” Musri tertawa kecil.
Keduanya terdiam.
Musri memandang lurus kedepan. Mengendalikan setang motor dengan kecepatan sedang. Sementara Evie yang duduk menyamping di boncengan menahan tubuhnya. Menjaga jarak agar tubuhnya tidak merapat ke punggung Musri.
Ketika masih kecil Evie sering berjumpa dengan Musri. Saat libur sekolah Musri membantu ibunya Evie. Kadang-kadang memanen cabe di ladang. Atau mengangkut padi hasil panen dari sawah ke rumah orangtua Evie.
Bagi bu Asma ibunya Evi, Musri adalah anak pisang dalam hubungan kekerabatan karena perkawinan di Minangkabau. Ayah Musri adalah paman dari bu Asma.
Tidak salah kalau bu Asma sering menegur Musri karena pemalu dan banyak berbasa-basi. Apalagi untuk makan, setengah mati menyuruh Musri.
“Disini rumah bakomu, Musri. Tidak usah banyak malu disini. Semestinya kalau kamu lapar atau haus ambil saja sendiri makan atau minum di meja,” Begitu ucapan bu Asma, orangtuanya Evie kepada Musri.
Entah sejak kapan, mereka tak pernah bertemu lagi. Musri tak pernah datang lagi. Evie pun segan bertanya perihal itu.
Bertahun-tahun tidak saling mengetahui keberadaan masing-masing.
“Kenapa abang waktu itu menghilang dan tak pernah datang lagi ke rumahku?” tanya Evie setelah sampai di sebuah Cafe Mini di pinggiran danau Singkarak.
Musri menghela nafas dan menyeringai.
“Suatu ketika menjelang pulang ke rumah, Abang diam-diam mendengar percakapan ibumu dengan ayahku...” ujar Musri kemudian.
Evi menyeruput teh botol lalu serius menunggu kelanjutan ucapan Musri.
“Tentang apa, bang?” sambut Evie tak dapat menahan ingin tahunya.
“Kita akan dijodohkan kelak bila sudah tiba waktunya,” cetus Musri.
“Hm, kini aku mengerti. Abang tidak mau dijodohkan dengan anak bako sehingga abang menghilang,” pintas Evie.
Musri mengangguk pelan.
“Sekarang, abang sudah tahu apa tujuan ibuku dan ayah abang menyuruh kita pergi main-main kesini?”
Musri menggeleng.
Evie terdiam.
Ada rasa ragu untuk berterus terang pada Musri.
“Bang...,”
“Iya, apa yang hendak kamu katakan?”
“Abang tidak akan marah?”
“Tidak,”
“Aku sudah tahu semua tentang abang saat ini. Ibu yang bercerita kepadaku.”
“Oh ya? Tentang apa?”
“Abang sudah berpisah dengan istri abang, bukan?”
“Iya, kenapa?”
“Nah, itu pula sebabnya aku disuruh pulang ke kampung oleh ibu setelah aku berpisah dengan suamiku...”
“Lalu, ibumu juga menyuruh aku pulang untuk mempertemukan kita?” seru Musri.
Evie mengangguk lemah. Ada rasa khawatir dalam hatinya Musri akan tersinggung. Lalu Evie menekur sedalam-dalamnya ke bawah.
“Evie..., kamu setuju dengan rencana ibumu itu?” tanya Musri.
“Aku tidak tahu lagi, bang. Sebab setelah kegagalan pertama berumah tangga, aku akan menurut saja pada ibu,”
“Angkat wajahmu, Evie. Jangan menekur melulu,” pinta Musri.
Evie mengangkat wajahnya. Ia tak menyangka kalau Musri tak seperti dibayangkannya, setelah ia berterus terang pada laki-laki di hadapannya.
Musri tersenyum.
“Nah, begitu dong. Meski sudah dewasa ternyata kamu semakin cantik,” ujar Musri memuji.
“Gombal...” Evie tersenyum.
“Iya, benar kok. Dulu kamu bulat dan gemuk. Nyatanya sekarang sudah berubah,”
“Abang bisa saja. Hm, abang sendiri bagaimana pendapatnya?”
“Evie... Kamu kira abang akan menolaknya lagi?”
“Serius bang,”
“Iya, abang tidak bercanda. Duh, sayang kalau sekiranya tidak mau dijodohin untuk kedua kalinya dengan anak bako abang secantik ini,” Gombalan Musri menjadi-jadi.
Evie mencubit tangan Musri tanpa sadar. Musri meringis.
“Aduh, sakit tau...” ***