Perbedaan Tak Menghalangi untuk Bahagia

Motor jenis bebek tua keluaran tahun 90-an bergerak pelan di jalan raya. Suara dari mesin dan bodinya terdengar agak berisik kendatipun kecepatannya tak lebih 20 km/jam.

Meski usia motor itu sudah tua namun terlihat bersih. Menandakan pemiliknya telaten merawat kendaraan.

Pengendara motor tua itu juga tidak muda lagi. Rambutnya yang disisir rapi nampak mulai ditumbuhi uban disana sini.

Begitu pula deretan kumis tipisnya yang mulai tumbuh rambut putih satu satu.

Penampilannya terlihat rapi. Pantas saja. Ia mengenakan pakaian dinas berlengan panjang. Menandakan pria paruh baya itu seorang pegawai pemerintah.

Sadar, laki-laki paruh baya itu terlihat santai mengendalikan setang motornya. Siang jelang sore itu cuaca terasa panas. Terik matahari seakan memanggang bumi.

Namun Sadar seakan tidak merasakan semua itu. Ia membayangkan Yuni, istrinya telah menunggunya di rumah.

Makan siang sudah disiapkan di meja makan. Kopi kesukaannya juga sudah mengepulkan asap dengan aroma harum kopi pilihan.

Sejak menikahi wanita yang lebih muda 17 tahun dari usianya itu. Sadar benar-benar merasakan ketenangan dalam hidupnya. 

Yuni hanya wanita sederhana. Wanita desa yang tidak terlalu cantik. Juga tidak berpendidikan tinggi. Hanya seorang lulusan es-em-pe.

Ia telah ditinggal oleh suaminya. Tetapi janda beranak empat itu tidak banyak tingkah dan menurut pada suami.

Sejak dinikahinya, Yuni lebih banyak waktunya untuk mengurus dirinya di rumah. Hal yang jarang dirasakan Sadar dengan istrinya yang pertama dulu.

Sadar membelokkan motornya dengan pelan ketika sampai di pertigaan jalan. Kini ia melewati jalan kecil coran kerikil dan cadas. 

Ia semakin memperlambat laju motornya agar tidak terlalu bising oleh bunyi kendaraannya.

Persis di depan sebuah rumah semi permanen, Sadar turun dari motor untuk membuka pintu pagar kayu. Kemudian masuk ke pekarangan dengan mendorong motornya. 

Dengan hati senang ia melangkah ke pintu depan yang masih tertutup.

Satu dua kali ia mengetuk pintu namun tak ada sahutan. Sadar mencium aroma cat putih yang menebar dari dinding rumah. Memang, rumah semi permanen itu baru dihuninya sejak dua minggu yang lalu.

“Yuni...” panggil Sadar pelan sembari mengetuk daun pintu kembali.

Pintu terkuak dan seorang perempuan tigapuluhan tahun berdiri di pintu menyambut kedatangan Sadar dengan senyum dan gembira.

“Oh, abang sudah pulang. Maaf bang, tadi aku lagi di dapur,” ujar Yuni.

Yuni mengulurkan tangan menyalami suaminya. Meraih tangan suami ke kening dan ke pipinya.

“Tidak apa, Yuni...” balas Sadar agak terpana dengan penampilan Yuni menyambut kedatangannya kali ini.

Yuni seperti perempuan kantoran. Cantik dan anggun mengenakan baju dan jilbab warna merah menyala.

“Hai... kenapa abang terpana begitu memandangku?” seru Yuni menggoda.

Sadar tersenyum senang. Lalu membuka kaus kaki dan memasukkan dalam sepatu untuk ditaruh pada rak sepatu.

“Kamu terlihat semakin cantik saja, Yuni...” puji Sadar sembari duduk di sofa.

“Ya, istri siapa dulu dong?” balas Yuni sedikit genit dan duduk di samping Sadar.

“Istrinya pak guru Sadar, hehe...” jawab Sadar tertawa dan diikuti istrinya.

“Abang sudah lapar, hidangan sudah tersedia di meja makan. Oh, ya tadi aku bikin ikan nila bakar, bang...” Yuni memberitahu menu siang untuk suami tercinta.

“Oh, ya?”

“Iya, benar bang...”

“Tapi abang mau air putih saja dulu, Yuni...” 

“Baik, bang...” Yuni bangkit dan beranjak ke dapur. Tak lama ia datang membawakan segelas air putih.

“Kopi juga sudah aku buatkan tadi, bang...” ujar Yuni meletakkan air putih di meja.

“Terima kasih, Yuni....” ujar Sadar seraya mereguk air putih di gelas. 

Sementara Yuni memperhatikan cara minum suaminya yang menyenangkan hati. Dan hal sepele ini tak pernah ditemui pada suaminya terdahulu.

Yuni tersenyum sendiri manakala melihat rambut suaminya yang tersisir rapi diselingi uban satu persatu. Terkesan unik di hatinya. 

Uban itu justru membuat suaminya terlihat lebih keren. Ia justru merasa bangga dan bahagia sejak dinikahi pria yang terpaut usia belasan tahun dengannya.

Bukan karena suami yang keduanya itu seorang pegawai negeri. Ia bangga dan bahagia karena ternyata suaminya seorang pria yang pintar dimatanya.

Pintar merayu dan membuat hati orang senang. Pandai bagaimana menghargai orang lain. 

Yang membuat Yuni terharu dan sering menangis adalah sikap suaminya terhadap anak-anak dari suaminya yang pertama. 

Suami keduanya ini tidak pernah memberlakukan anak-anaknya sebagai anak tiri.

“Haiiii....kenapa kamu melamun, Yuni?”

Yuni terkesima. Dengan cepat ia mengendalikan situasi. 

“Ah, aku tidak melamun...hanya berhayal betapa bangganya aku punya suami abang,” Yuni berkilah.

Sadar tersenyum. Lalu, “Meskipun abang jauh lebih tua dari kamu?”

“Ternyata perbedaan umur tidak menghalangi sebuah keluarga untuk bahagia dan bangga, bang...” jawab Yuni bijaksana.

“Terima kasih atas semua itu, Yuni...” balas Sadar sembari menarik dan menggenggam kedua tangan Yuni.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel