Kartu ATM

Dari tadi Rima lebih banyak diam. Ia mau bersuara jika ditanya oleh Martias. Itupun dijawabnya dengan singkat dan seadanya.

“Maaf, Rima...” ujar Martias pelan. Ia mulai merasa tak enak hati dengan sikap dingin Rima sejak tadi.

Rima tak merespon.

Ia justru merapikan rambut Arsya, putri kecil semata wayangnya yang duduk di samping kirinya.

“Rima, boleh saya bicara?” 

“Iya, bicaralah, pak...” balas Rima pelan.

“Aku sengaja mengajakmu kesini karena ingin menyampaikan sesuatu padamu...,” sambung Martias.

Rima hanya diam. Menanti apa yang akan diucapkan lelaki paruh baya di hadapannya.

Tetapi Martias kehilangan kata-kata untuk disampaikan selanjutnya pada Rima.

“Arsya mau jajan apa, sayang?” tanya Martias tiba-tiba pada Arsya. Sekadar mencairkan kecanggungannya.

Martias memperhatikan Arsya dari tadi. Ada sesuatu yang diingini si kecil dengan menoleh pada box es krim di pojok cafe.

Anisa menggeleng.

Martias tersenyum kecil.

Ia menangkap dengan sudut mata saat Rima membelalakan mata ke arah Arsya. Melarang putrinya untuk menolak tawaran Martias.

Martias tak mempedulikannya. Ia bangkit dan menuju box es krim. Mengambil tiga buah es krim coklat.

“Yang ini, Arsya suka bukan...?” ujar Martias menyerahkan es krim ke tangan Arsya. 

Gadis kecil itu menyambutnya. Rima tak bisa mencegahnya lagi.

Kini Martias senyum-senyum kecil pada Rima. Ia sudah menduga Rima akan berbasa-basi, pura-pura menolaknya.

“Rima mau juga, bukan? Hm, boleh pilih diantara dua di tanganku ini...,” ujar Martias dengan raut wajah lucu.

Rima menggeleng.

“Benar gak mau, ntar nyesal lho? Aku tahu, es krim yang ini kesukaan kamu, Rima...” Goda Martias lagi.

Rima benar-benar menggeleng tapi semakin pelan.

“Oke, kalau Rima nggak mau, aku kembalikan lagi ke tempatnya...,” ujar Martias bangkit.

Namun sebelum sempat berdiri, tubuhnya tertahan. 

“Mau dong....” seru Rima sembari menyambar dan menahan tangan Martias.

Martias tersenyum lagi.

“Nah, apa kubilang, nyesal kalau ditolak pemberian ikhlas dari seseorang....,” goda Martias sembari mengerdipkan mata.

Rima tersipu malu.

Martias mengemut es krim coklat sembari mengamati Rima dan putrinya.

“Maaf, saya bersihkan, puncak hidungmu..., kena eskrim...” ujar Martias sembari membersihkan puncak hidung Rima dengan sapu tangannya.

Rima jadi malu tapi tak dapat mencegah tindakan Martias.

“Enak es krimnya, Arsya?” tanya Martias pada Arsya mengalihkan suasana.

“Enak, papi...” sahut Arsya dengan suara mungilnya.

“Ooh, kalau begitu besok kita kesini lagi ya, sayang...?”

Arsya mengangguk.

Sementara di pikiran Rima terjadi kecamuk tak menentu. Antara rasa menyesal dan enggan mau untuk diajak ke tempat ini tadi. Namun ia tak kuasa untuk menolaknya.

Pria yang duduk di hadapannya sekarang adalah lelaki paruh baya yang hampir seusia bapaknya!

“Rima..., maukah kamu mendengar sesuatu dariku...?” gumam Martias tiba-tiba.

Rima tersentak. Hatinya berdebar-debar, takut. Lalu memandang sekilas pada Martias.

“Boleh?” ulang Martias.

Rima mengangguk pelan, sambil menekur dalam ke bawah meja dengan jantung berdebar kencang.

“Maaf, seandainya aku tidak tahu diri. Aku...., mau menjadi pengganti papanya Arsya....” cetus Martias terus terang.

Rima terkesiap.

“Karena aku telah terlanjur lebih dulu menyayangi Arsya dan menganggapnya sebagai anaku sendiri.” lanjut Martias 

Kemudian Martias dengan polos mengatakan kalau dirinya tidak bisa menjanjikan sesuatu yang berharga untuk masa depan Rima dan putrinya Arsya.

“Tapi aku akan berusaha dan berjuang sekuat kemampuan demi masa depan kalian berdua.” timpal Martias.

Rima masih terpana. Hatinya mulai lirih mendengar ucapan Martias.

“Rima...”

“Iya, pak...” Rima menatap Martias sekilas. Tak mampu ia membalas sorot mata Martias.

“Aku tahu, kamu hobi berjualan, disamping bertugas rutin. Dan, aku yakin kamu akan sukses dengan usaha sampinganmu itu.”

Rima terharu. Martias ternyata nemang mengetahui benar keadaannya sampai pada hobi dan kesukaannya.

“Kebetulan, aku punya sedikit tabungan.... Terimalah kartu ATM-ku ini, untuk modal usaha sampinganmu....” ujar Martias menyerahkan kartu ATM ke genggaman tangan Rima. 

Rima memandangi kartu ATM digenggaman tangannya. Lalu menoleh pada Martias dengan ragu.

Martias tersenyum senang. Lalu berkata, “Tak seberapa memang tapi percayalah, itu tabungan daruratku, Rima....”

“Hmmm, tidak usah repot begini, pak....” balas Rima, mengembalikan kartu ATM ke tangan Martias.

Martias menggelengkan kepala lemah sambil tersenyum.

“Rima..., dengar baik-baik. Hanya ini, yang aku punya. Kamu tahu gajiku sudah nihil. Dan, ATM ini bukan ATM kosong. Hanya saja isinya sedikit, maklumlah...”

“Bukan itu maksudku, pak.” tukas Rima.

“Oh, ya?” 

“Bukankah..., saat ini bapak juga masih punya tanggungan kepada anak-anak bapak...?”

“Iya, betul. Tapi..., aku juga punya kehidupan Rima. Kamu sudah tahu seluk-beluk bagaimana keadaanku saat ini. Aku tidak mau terus menerus menjalani kehidupan keluarga seperti yang kujalani saat ini. Suatu saat, aku harus mengambil keputusan untuk menjalani kehidupanku sendiri...,”

Rima terdiam.

“Rima..., aku nembak kamu dengan.... kartu ATM ini, hehe.... Jangan khawatir, aku ikhlas. Jika kamu keberatan untuk menerimaku, kamu tidak usah takut menolaknya...,” ujar Martias.

“Pak, beri aku waktu untuk berpikir dan memutuskannya, pak...” balas Rima pelan.

“Iya, itu memang harus kamu lakukan, Rima... Aku akan sabar menunggu jawabanmu,” sambung Martias tersenyum. Optimis!***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel