Di Ruang Pasien Rawat Inap

Meski terbaring di tempat tidur pasien dan terpasang infus, Narsih berusaha agar bisa berterus terang. Mengatakan sesuatu pada Isman, lelaki yang masih berdiri di sisi tempat tidurnya.

Selama ini Narsih selalu berkilah ketika Isman meminta kepastian. Itu dilakukannya sekadar mengulur-ngulur waktu agar Isman bosan. 

"Beri aku waktu untuk berpikir," Begitu selalu jawaban Narsih.

Bukannya Narsih tidak suka. Hatinya justru bahagia ketika mendengar Isman berterus terang mengungkapkan isi hatinya. 

Namun ia tidak ingin dirinya dan Isman kecewa kelak dikemudian hari. Apalagi pria itu akan meninggalkannya setelah mengetahui siapa dirinya.

“Maaf..., aku tidak bisa menerima dirimu, Isman....” akhirnya Narsih berbicara pelan seraya memandang Isman.

“Kenapa Narsih...?” tanya Isman kecewa.

“Karena aku tak ingin kamu  kecewa....”

“Maksudmu?”

“Sebaiknya, kamu cari saja wanita lain, Isman....”

“Bagaimana mungkin aku mencari wanita yang lain, sementara hatiku sudah tercurah padamu, Narsih...?” pintas Isman.

“Aku yakin, kamu pasti bisa mencari wanita yang lebih pantas dan melupakanku.” balas Narsih.

Matanya mulai basah. Bukan karena ia merasakan sakit. Tapi karena ia telah membohongi dirinya. Apa yang diucapkannya bertentangan dengan hati kecilnya.

Isman menjambak rambutnya dengan kedua tangannya. Lalu menarik nafas dalam, menghempaskannya. Mengenyahkan kecewa yang bersarang di hatinya.

“Baiklah Narsih. Aku tak mungkin memaksamu untuk menerima perasaanku...” ujar Isman dengan suara berat. 

“Terima kasih atas pengertianmu, Isman...” balas Narsih.

Isman mengangguk lemah. “Semoga kamu cepat sembuh ya dan cepat pulang ke rumahmu, Narsih. Aku pamit...”

Ketika Isman hendak melangkah pergi, Narsih memanggilnya. Isman mengurungkan niat dan membalik badannya.

“Iya, ada apa, Narsih...?”

“Kamu benar-benar serius...?”

Isman mengangguk.

“Tidak akan menyesal setelah mengetahui siapa diriku....?”

Isman menggeleng.

“Dengarkan aku baik-baik, Isman...” ujar Narsih kemudian.

Lalu ia berterus terang kalau dirinya sudah pernah menikah di rantau.

Namun pernikahan itu tidak bertahan lama. Setelah berpisah ia memutuskan pulang dan menetap di kampung.

“Ya, statusku sudah berubah, Isman...”ujar Narti mengakhiri kisahnya.

“Sebenarnya aku sudah pernah mendengar semuanya, Narsih....” pintas Isman.

“Oh, ya...?”

“Iya, aku sudah terlanjur jatuh cinta padamu Narsih. Makanya, aku tak peduli dengan statusmu....”

“Aku juga cinta padamu...” balas Narsih tersenyum lega.

Bersamaan dengan itu seorang  perawat sembari tersenyum membalikkan tubuh di pintu masuk. Membatalkan niatnya mengecek pasiennya.***