Kiriman Sang Penjual Sayur
Kiriman sang penjual sayur - “Permisi Pak, ada kiriman untuk bapak...” Seorang siswa putri sudah berdiri di pintu kantor majelis guru. Tangannya menjinjing kantong kresek warna hitam.
“Ya, silahkan masuk...” ujarku berhenti membaca buku dan membuka kacamata.
Siswa itu melangkah masuk dan menaruh kantong kresek di atas meja di depanku.
“Terima kasih, ya nak...”
“Iya, pak. Saya permisi...” ujar siswa dan berlalu.
Aku sampai lupa bertanya bungkusan itu kiriman siapa.
Ketika kubuka ternyata isi kantong kresek itu sayur-sayuran. Ada sayur kacang polong, terung dan ketimun.
Perhatianku kini tertuju pada secarik kertas yang terbungkus plastik dan terselip diantara sayuran itu.
Aku segera mengambil dan membukanya.
“Terima kasih pak guru yang baik hati, telah memborong sayur mayur jualan saya beberapa hari lalu di pasar.
Saya tidak tahu bagaimana jadinya jika pak guru tidak mau membeli sayur jualan saya. Sebab saya perlu uang untuk membayar uang kost dan iuran sekolah anak saya.
Akhirnya saya mendapat informasi kalau bapak adalah seorang guru dan kebetulan salah seorang murid bapak adalah tetangga saya.
Saya kirim sayur ini melalui murid bapak sebagai ucapan terima kasih.”
Aku melipat kembali surat itu dan menaruhnya dalam laci meja.
Sejenak aku termenung mengingat kembali ketika beberapa waktu lalu, aku main-main ke pasar desa menjelang sore....
Saat itu pengunjung pasar mulai lengang karena memang sudah menjelang sore. Dengan begitu aku agak bebas berjalan dalam los pasar.
“Belilah pak sayur ini, masih segar...” seorang ibu penjual sayur setengah baya menawarkan jualannya di los sayur-mayur.
Aku hanya menggeleng sembari melempar senyum ramah.
“Ini buat bayar kost dan uang sekolah anak saya di kota, pak...” sambungnya agak memelas, membuat aku berhenti melangkah.
Hatiku jadi iba dan trenyuh.
Ucapan lirih ibu penjual sayur itu tiba-tiba telah melemparkan anganku jauh ke masa silam.
Saat dimana keadaan seperti ini juga pernah dialami oleh almarhumah ibuku.
Ketika itu aku ikut jualan sayur-sayuran bersama ibu di pasar.
Uang hasil jualan sayur akan digunakan untuk membayar uang sekolahku di es-em-pe....
“Bagaimana pak? Mau beli kacang polong, buncis atau ketimun?” tanya ibu penjual sayur itu penuh harap.
“Ada karung plastik yang lebih besar, buk?” tanyaku kemudian.
“Oh, ada pak. Bapak mau beli yang mana?
“Semua sayuran ibuk yang masih tersisa ini, masukkan ke dalam karung,” suruh-ku.
Ibu penjual sayur terpana, seakan tak percaya dengan pendengarannya. “Benar, pak?”
Aku mengangguk.
Kulihat wajah ibu penjual sayur nampak cerah dan gembira....
“Pak Naldi, bel tanda masuk mengajar sudah berbunyi...” Tiba-tiba sebuah suara membuyarkan lamunanku. Rupanya buk Shanti, kepala sekolah.
“Oh, iya buk ...” sahutku agak gugup.
“Wah, pagi-pagi pak Naldi sudah dapat paket kiriman. Dari siapa, pak?” tanya buk.
“Dari orangtua murid, buk...” jawabku sembari berkemas untuk masuk ke kelas untuk mengajar.***