Janji Sepenuh Hati
Pak Tedy menggeleng-geleng lemah sembari tersenyum kecut. Pertanyaan yang dilontarkan Mulyani membuatnya merasa terpojok.
“Belum, Mul...” jawabnya kemudian. Pelan dan nyaris tidak terdengar.
Ia tidak mengira mantan muridnya itu bertanya tentang sesuatu bersifat pribadi.
“Bapak yang belum mau, atau...”
“Belum ada orang yang mau.” sambar pak Tedy.
Mulyani tersenyum.
“Saya yakin, banyak yang akan mau untuk menggantikan ibuk yang telah pergi.” cetus Mulyani.
Pak Tedy melirik sekilas ke arah Mulyani yang duduk di sampingnya. Mantan muridnya itu terlihat serius.
“Kok kamu yakin?”
“Karena bapak seorang pegawai negeri, ganteng lagi...”
“Ah, kamu bisa saja. Saya sudah semakin tua, uban semakin lebat tumbuh di kepala,” sergah pak Tedy.
“Bapak..., zaman sekarang ini usia, rambut beruban atau tidak, bukan lagi patokan dalam mencari pasangan ....” sanggah Mulyani.
Kembali pak Tedy melirik Mulyani.
“Wah, pintar kamu sekarang, ya? Dulu kamu yang saya ajar, kini kamu yang mengajari saya...” ujar pak Tedy sedikit protes.
“Siapa dulu gurunya? Bapak dulu yang mengajari saya, supaya saya pintar...” kilah Mulyani asal-asalan.
Pak Tedy geleng-geleng kepala lagi. Mulyani memang anak pintar semasa sekolah. Pandai berbicara dan aktif berkegiatan di sekolah.
“Sekarang, giliran saya yang bertanya, apakah kamu sudah dapat calon pengganti suamimu yang telah pergi?”
Mulyani hanya menggeleng.
“Belum dicari, apa...” goda pak Tedy.
“Belum ada yang mau, pak...” potong Mulyani.
“Nah, kamu meniru-niru jawaban saya tadi. Tapi kamu masih muda dan cantik...”
“Saya lebih fokus dulu pada anak-anak saya, pak. Kasihan mereka, masih kecil.” Kilah Mulyani.
“Justru itu kamu perlu segera punya pendamping hidup, melindungi dan memperhatikan mereka,” ujar pak Tedy menggurui.
Mulyani terdiam. Sekilas ia ingin iseng dan mengerjain mantan gurunya.
“Pak..., kenapa mesti mencari yang jauh-jauh? Yang dekat saja, ada ..”
“Maksudmu?”
“Hehehe, hanya bercanda, pak...”
“Itu bukan bercanda tapi serius kedengarannya. Ayo, apa maksudmu?”
“Hmmm, kalau bapak mau mencari pengganti yang sudah meninggalkan bapak, saya tidak keberatan...” Mulyani keceplosan.
“Nah, kamu bercanda lagi ...”
“Ini serius, pak...”
Pak Tedy terdiam. Seakan tak percaya pada pendengarannya. Sementara Mulyani merasa terjebak oleh keisengan yang dilakukannya sendiri.
“Mul, saya sudah semakin tua dan jarak usia antara kita juga jauh...,”
“Iya, benar. Tiga belas tahun, pak...” sambut Mulyani.
“Kamu tidak akan menyesal?”
“Yakin, saya tidak akan menyesal. Toh, usia saya saat ini juga tidak muda lagi.” Jawab Mulyani.
“Lalu, apa yang kamu harapkan dari saya?”
“Membimbing saya mencari ridho Allah dan mendidik anak-anak saya, pak...”
Pak Tedy terdiam, merasa haru dengan ucapan Mulyani.
“Sebenarnya saya juga membutuhkan dan mengharapkan sesuatu dari kamu, Mul.”
“Apa itu, pak?”
“Perhatianmu dengan sepenuh hati...”
Insya allah, saya janji pak...” sahut Mulyani yakin.
Angin semilir berembus tatkala pak Tedy meraih tangan Mulyani. Lalu keduanya tersenyum bahagia tatkala sehelai daun jatuh di genggaman tangan mereka.***