Cerpen Kasmawati
Cerpen kasmawati – Kasmawati melirik pria yang berjalan di sampingnya. Hatinya merasa trenyuh mendengar penuturan pria itu. Suara berat pria itu dalam mencurahkan keluh kesahnya terdengar menghiba. Menandakan pria itu sedang berputus asa menghadapi masalah dalam hidupnya.
“Tapi keadaan saya malah lebih buruk dari Abang. Masa lalu saya sungguh kelam,” tukas Kasmawati sembari mengiringi langkah kaki pria yang berjalan di sebelah kanannya.
Tiba-tiba Dasman, pria paruh baya itu menghentikan langkahnya. Kemudian bergegas maju ke depan sehingga posisinya seakan menghalangi langkah Kasmawati.
Kasmawati terhalang dan menghentikan langkahnya. Kemudian diam menunggu apa yang akan dikatakan Dasman.
“Kasma... Masa lalumu, mau terang, mau kelam..., saya tak peduli. Karena saya merasa tidak lebih baik darimu, Kasma.” cetus Dasman.
Kasmawati terkesima. Namun ia tak sanggup menatap wajah pria di hadapannya. Ia hanya menundukkan kepala. Seakan sedang melihat ujung sepatunya.
Pelan-pelan Dasman mengangkat dagu Kasmawati dengan ujung jarinya.
“Lihat wajah saya, Kasma...,saya tidak punya apa-apa lagi dan juga tidak setampan suami-suamimu terdahulu.” ujarnya serius.
Kasmawati membisu. Tak sanggup ia untuk menanggapi ucapan Dasman. Hatinya terlalu haru dengan keseriusan ucapan pria itu
Kini Dasman meneruskan langkah kaki. Kasmawati berusaha untuk menyejajarkan langkah sampai kembali berjalan beriringan di jalan kecil di areal persawahan itu.
Mereka saling diam dalam derap langkah mengayun di jalan kecil beraspal tipis.
Dasman sudah menerima keadaan Kasmawati apa adanya. Akan tetapi Kasmawati lebih duluan siap menerima Dasman dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Kasmawati menyadari kalau dulu ia telah keliru dalam menetapkan pilihan teman hidupnya. Kegagalan demi kegagalannya berumah tangga karena kriteria yang ditetapkannya sendiri. Materi dan ketampanan.
Kejujuran dan pengakuan Dasman telah meruntuhkan tembok kriteria yang dianggapnya menentukan kebahagiaan dalam hidup.
“Bang.., Kita sudah sampai...” seru Kasmawati tatkala sampai di sebuah dangau kecil di pinggir jalan.
“Oh, ya?” sahut Dasman sembari mengikuti langkah Kasmawati.
Kasmawati duduk di pinggir lantai dangau sambil menjulurkan kaki ke tanah. Kemudian menarik tali kendali orang-orangan sawah.
Segerombolan burung terbang, terkejut oleh gerakan orang-orangan.
“Sejak beberapa hari ini saya harus menggantikan adik untuk menghalau burung setiap pagi dan sore di sawah ini,” ujar Kasmawati kemudian.
“Wah, asik juga. Apalagi pemandangannya indah dan sejuk,” cetus Dasman.
“Abang bisa turun ke sawah?”
“Bisa...”
“Hm, sulit dipercaya...”
“Kenapa, Kasma...?”
Kasmawati tertawa kecil.
“Lho? Kok malah ketawa?”
“Mana bisa saya percaya kalau Abang bisa turun ke sawah? Kulit Abang putih dan tangannya mulus lagi. Ya, cocoknya Abang memang jadi pegawai negeri seperti sekarang ini....”
“Tapi serius, Kasma....” potong Dasman. “Sebelum jadi pegawai negeri, Abang memang turun ke sawah. Ya, turun ke sawah seperti orang kampung disini.”
“Buktikan saja kalau Abang memang bisa turun ke sawah.”
“Cara membuktikannya?”
“Usai panen ini, kita berdua yang mengolah sawah ini....hayoo..., berani?”
Dasman menggaruk-garuk kepalanya yang memang tidak gatal. Ia sudah menangkap makna ucapan Kasmawati.
“Nah, Abang tidak berani, bukan?”
“Bukan begitu Kasma...”
“Ngomong-ngomong Abang memang serius dengan hubungan kita?” Kasmawati mengalihkan pembicaraan.
Dasman mengangguk.
“Kalau begitu, saya akan menunggu persoalan Abang selesai. Dan, saya janji tidak akan mendesak Abang untuk cepat menyelesaikan persoalan abang. Kalau jodoh tidak akan kemana...”
“Terima kasih pengertianmu, Kasma...”
Kasmawati mengangguk seraya tersenyum sembari menjatuhkan kepala di bahu Dasman.
Sementara itu mentari sore bersinar kemerahan di sela-sela awan di ufuk sebelah barat.
Dua anak manusia itu, yang tidak muda lagi beranjak meninggalkan dangau sawah.***