Kalau Jodoh Tidak Akan Kemana
Kalau jodoh tidak akan kemana – Gerimis yang turun semalam telah menyisakan embun dan kabut tipis di subuh itu. Bulan sabit di langit timur terlihat samar. Sementara itu suara azan terdengar berkumandang melalui pengeras suara di puncak kubah masjid desa.
Kaum pria menuju rumah ibadah untuk menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid terdekat di desa itu.
Ada yang berjalan kaki karena jarak rumah dengan masjid tidak terlalu jauh. Namun ada pula yang menggunakan motor.
Sebuah motor keluar dari mulut sebuah gang sempit. Suaranya yang cukup berisik, cahaya yang keluar dari lampu induk tidak begitu terang. Menandakan motor itu sudah tua.
Suryadi, pengendara motor tua itu juga hendak shalat subuh di masjid desa.
Seorang wanita mengenakan mukena dan sarung putih terlihat berjalan di kiri jalan raya menuju masjid.
Suryadi menghentikan motornya, di depan perempuan itu. Bertepatan dengan itu terdengar suara iqamah.
“Yuk, naik buk,” Suryadi menawarkan jasa sembari menoleh ke belakang.
“Tidak usah, mas...”
“Nggak apa-apa kok buk. Nanti ibuk telat dan menjadi makmum masbuk...” sahut Suryadi.
“Baik, terima kasih, mas...” akhirnya perempuan itu menurut dan segera membonceng menyamping di belakang.
Suryadi berusaha agar wudhuknya dan wanita di belakang tidak batal.
“Terima kasih, mas...” wanita itu turun dari boncengan. Suryadi mengangguk seraya melirik sekilas pada wanita itu.
Rasanya ia tidak mengenal wanita muda yang diboncengnya. Padahal selama ini Suryadi sudah mengenal warga desa di sekitar masjid.
***
Suryadi memasuki sebuah apotik untuk membeli minyak kayu putih. Penjaga apotik menyambutnya.
“Mau beli apa, mas?”
“Minyak kayu putih, buk...” sahut Suryadi sembari merongoh kocek celana bagian belakang untuk mengeluarkan dompet.
“Ini minyak kayu putihnya, mas...” penjaga apotik menyodorkan pesanan Suryadi.
Suryadi tercenung sejenak. Perasaannya wanita penjaga apotik pernah bertemu dengannya.
“Ibuk...?” seru Suryadi dengan suara pelan.
“Iya, mas... Saya yang mas bonceng subuh kemaren...” balas penjaga apotik.
“Jadi... Ibuk bekerja disini. Sudah lama?”
“Baru seminggu, mas....”
“Oh, pantas saya tidak mengenal orang yang saya boncengin kemaren itu,”
“Sekali lagi terima kasih, ya mas...”
Suryadi mengangguk. Lalu pamit untuk pergi.
***
“Lho, buk? Kita ketemu lagi...?” ujar Suryadi kepada wanita yang duduk menunggu pesanan di sebuah cafe.
Kini wanita itu ditemani dua bocah kecil. Suryadi sudah menduga bocah-bocah itu anaknya.
“Kok bisa ya, mas...?” balas wanita beranak dua itu sembari tersenyum.
“Boleh saya duduk disini, buk?” ujar Suryadi berbasa-basi.
“Silahkan, mas....”
Suryadi kini duduk berseberangan meja dengan wanita dua anak tersebut. Ia memesan minuman ketika penjaga cafe datang mendekati.
“Tidak ditemani bapaknya anak-anak, buk?” tanya Suryadi.
Perempuan itu hanya tersenyum seraya menggeleng lemah. Namun Suryadi tak ingin bertanya lebih lanjut.
Dari raut wajahnya, Suryadi sudah dapat menduganya.
"Mas datang sendiri?” Perempuan di seberang meja balik bertanya.
Kini Suryadi yang membalas dengan senyum. Kecut.
“Oh ya, kita sudah bertemu tiga kali tapi belum saling mengenal nama,” cetus Suryadi.
“Benar juga ya mas? Saya, Raisya...”
“Saya, Suryadi...”
Tak terasa Suryadi dan Raisya semakin akrab. Komunikasi pun dilanjutkan secara offline dan melalui media sosial.
Mereka akhirnya saling mengenal keadaan dan pribadi masing-masing.
Hari berganti minggu dan berubah menjadi bulan. Keakraban terjalin menjadi rasa saling ingin memiliki.
Kalau sudah jodoh tidak akan kemana.***