Menguak Kabut di Hati Papa
Menguak kabut di hati papa - Aini tertegun sesampai di samping pak Suardi. Mengamati sosok yang dikaguminya itu sejenak. Ia ingin mengatakan sesuatu pada sang papanya. Namun urung dilakukannya. Papanya seakan tidak tertarik dengan kehadirannya.
Pak Suardi tak bergeming. Bukannya menoleh atas kehadiran anaknya malah ia terus memandang lurus jauh ke depan sana.
Aini jadi bimbang. Lalu menundukkan kepala, menatap ke ujung sepatunya. Dalam hati Aini dapat memaklumi sikap papanya yang dingin atas kehadirannya saat itu.
Papanya telah mengalami kekecewaan luar biasa setelah mengetahui ulah mamanya. Aini sendiri yang memberitahu papanya.
Namun akhirnya Aini merasa bersalah telah memberitahu mamanya telah berselingkuh.
Tapi sungguh, Aini tidak berniat untuk menyakiti hati sang papa dengan membongkar rahasia mamanya sendiri.
“Ada apa kamu menyusul papa ke tempat ini...?”
Suara berat sang papa memaksa Aini mengangkat wajah. Lalu agak mendekat ke arah pak Suardi.
“Aku mau mengatakan sesuatu pada papa. Tapi aku minta maaf sebelumnya, pa...”
“Ya, bicaralah Aini ...” cetus pak Suardi kembali memandang lurus ke depan.
Agak ragu Aini untuk memulai berkata. Ia terpana, memperhatikan rambut di kepala papanya sudah banyak yang putih. Rambut yang selalu rapi dan kini terlihat sudah agak panjang.
“Kamu mau bilang apa, Aini?” Pak Suardi mulai mendesak putri sulungnya itu.
“Sebenarnya... Aku dan adik-adiku sudah lama tau tentang ulah mama....” cetus Aini.
“Kenapa baru tadi kamu beritahu pada papa?” Suara pak Suardi agak meninggi.
“Aku takut akan terjadi pertengkaran hebat antara papa dan mama....”
“Lalu, kenapa kalian beritahu juga akhirnya kepada papa?” tukas pak Suardi.
Aini terdiam.
“Jadi, selama ini kamu dan adik-adikmu sekongkol untuk menutupi rahasia perselingkuhan mamamu itu?”
“Bukan begitu, pa... Mulanya kami mengira mama telah khilaf dan akan merubah sikapnya....”
“Ternyata, mamamu tidak khilaf tapi memang sengaja. Begitu maksudmu?” potong pak Suardi cepat.
Aini mengangguk pelan.
Pak Suardi menghela nafas.
“Kami kasihan dengan papa. Itu sebabnya kami akhirnya sepakat untuk memberitahu papa walaupun itu akan membuat kecewa ...” ujar Aini terus terang.
“Ya, sudahlah, Aini. Biarkan papa sendirian di tempat ini...”
“Tapi pa..., kuharap papa nanti tetap pulang ke rumah setelah kembali dari sini” ujar Aini penuh harap.
“Papa kesini hanya sekadar untuk menenangkan pikiran. Papa akan kembali pulang sore nanti,” sahut pak Suardi.
“Satu lagi permintaanku, kalau papa kembali pulang nanti, jangan bertengkar.
Aku mohon papa pura-pura tidak mengetahui rahasia mama...” pinta Aini seraya berbalik arah. Berlalu meninggalkan pak Suardi sendiri di lokasi tempat wisata itu.
“Aini....”
Langkah Aini terhenti. Lalu kembali berbalik arah mendekati papanya.
“Papa akan penuhi permintaanmu, nak. Tapi bantu papa agar bisa bersikap biasa-biasa saja di depan mamamu,” ujar pak Suardi memegang kedua bahu gadis sulungnya itu.
Aini mengangguk sembari berkata, “Aasiaap komandan...”
Pak Suardi tersenyum kecil dengan gelagat putrinya.
Sebaliknya Aini merasa lega karena papanya mulai bisa tersenyum. Kabut di hati sang papa mulai terkuak. Tamat.***