Sahabatku Besanku Bagian Ketiga

Sahabatku Besanku (Bagian Ketiga) - Seorang pria muda terlihat melangkah menuju meja kasir sebuah toko busana. Tangannya menjinjing kantong plastik khusus berisi barang belanja satu stel bahan dasar pakaian seragam dinas.

Ilustrasi gambar (Matrapendidikan.com)

Budi, pria muda itu tertegun sejenak. Seorang perempuan muda sebagai kasir sedang melayani pembeli dalam pembayaran.

Sesekali Budi mengamati wanita muda itu dari samping. Tiba-tiba ia manggut-manggut. 

Wanita kasir mengenakan gamis kuning gading itu seakan pernah dikenalnya. Sayang sekali ia tidak ingat dimana dan kapan ia pernah bertemu.

"Ada yang perlu saya bantu, bang...?" 

Tiba-tiba wanita kasir toko bertanya.

"Oh, ini bahan yang hendak saya bayar, dek..." sahut Budi sedikit gugup seraya menyerahkan beberapa lembar uang kertas.

"Ini kembaliannya, bang...." 

Budi menyambut uang kembalian namun tangannnya tak sengaja menyentuh tangan wanita kasir itu.

"Oh, maaf..." ujar Budi merasa bersalah dan memandang wanita itu.

"Hm, tidak apa-apa, bang..." sahut wanita kasir itu tersenyum ramah.

Entah apa yang membawa situasi sehingga kedua anak muda itu saling pandang sejenak.

"Rasanya kita pernah kenal ya, dek...?" cetus Budi.

Baca juga : Sahabatku Besanku Bagian Kedua

"Aku juga merasa begitu, bang..." balas wanita itu. Ia pun tak dapat menyembunyikan penasarannya. Dari tadi ia juga sudah merasakan kalau pengunjung yang satu ini pernah dikenalnya.

"Kamu, Fina...?" tebak Budi ragu-ragu.

"Bang Budi...?" Fina langsung menebak.

"Wah, siapa sangka kita bisa ketemu di tokomu ini ya?" ujar Budi merasa senang.

"Iya, benar. Kalau tidak salah sudah sepuluh tahun sejak kita berjumpa di rumah bang Budi..." balas Fina. 

Fina memanggil asistennya untuk menggantikannya di meja kasir.

"Oh ya, bang. Baiknya kita ngobrol di cafe depan biar agak santai..." ajak Fina kemudian. Lalu keduanya melangkah ke cafe depan dan memesan minuman.

"Wah, tidak kusangka kamu kini tumbuh menjadi wanita yang sehat dan cantik..." cetus Budi memuji.

"Duh abang bisa saja," balas Fina jadi malu meskipun hatinya merasa senang dipuji.

"Bagaimana keadaan papamu sekarang?" tanya Budi mengalihkan percakapan.

"Beliau baik-baik saja. Dan ayah abang bagaimana?" 

"Ya, beliau juga terkabar baik di kampung..."

Lalu keduanya terdiam. Hanyut mengenang masa dimana mereka bertemu pertama kali semasa mereka masih anak-anak.

Sepuluh tahun silam Fina datang bersama papanya ke rumah Budi. Ayah Budi adalah sahabat baik papa Fina waktu es-em-a.

Simak juga : Sahabatku Besanku Bagian Pertama

"Apa yang kamu ingat ketika berkunjung ke rumahku sepuluh tahun lalu, Fin?" tanya Budi tiba -tiba.

"Kita mengambil jambu air di pojok halaman rumah ditemani ibu bang Budi. Kalau bang Budi apa yang diingat?"

"Aku nangis di pinggir jalan lalu naik mobil papamu pulang ke rumahku..."

"Bang Budi jualan goreng pisang, bukan?" sambung Fina sambil tertawa.

Budi ikut tertawa. "Iya, benar Fina."

"Dan, sekarang bang Budi kerja apa?"

"Aku jadi guru di kota ini, Fin..."

"Oh, pantas bang Budi membeli bahan pakaian seragam dinas..." sambung Fina.

"Ya, begitulah Fin. Hm, maaf Fin. Aku khawatir kalau lama-lama ngobrol disini ketahuan pacarmu...." ujar Budi merasa tidak enak hati.

"Haa...? Pacar ...? Aku belum punya pacar, bang. Atau... jangan-jangan abang sendiri yang merasa takut ketahuan oleh pacarnya," balas Fina.

Budi tersenyum sambil berkata, "Abang juga belum punya pacar. Habis siapa yang mau dengan mantan penjaja goreng pisang..."

"Tapi sekarang abang sudah menjadi pegawai negeri .." potong Fina cepat.

"Abang belum mau pacaran, Fin..."

"Kenapa?"

"Membantu ayah dan ibu terlebih dulu. Begitu pula adik perempuanku saat ini sedang duduk di bangku kuliah," jelas Budi.

Ya, itulah pertemuan mereka setelah meningkat dewasa. 

Sepuluh tahun ternyata terasa tidak terlalu lama. Dalam rentang waktu itu Budi dapat melanjutkan pendidikan ke es-em-a kemudian perguruan tinggi keguruan.

Pada masa sekolah Budi ikut membantu orangtua mencari uang dengan bekerja apa saja asal tidak mengganggu belajarnya.

Kejujuran adalah modal utama agar dipercaya oleh orang lain. Dengan modal ini dapat bekerja di warung makan sekalipun mencuci piring.

Begitu pula bekerja menjadi penjaga kedai. Ia bekerja paruh waktu karena dia harus belajar di sekolah dan rumah.

Budi diterima di sebuah universitas keguruan melalui jalur undangan dan memperoleh bea siswa kuliah.

Semasa kuliah Budi terus mencari pekerjaan. Pada masa kuliah ia harus lebih disiplin mengelola waktu antara kuliah dan bekerja.

Budi tumbuh menjadi seorang pria menuju dewasa. Usai menamatkan kuliah, Budi diterima menjadi seorang guru di kota.***(Bersambung)