Bukan yang Pertama

Bukan yang pertama - Suasana malam minggu di desa padat penduduk itu kembali terlihat ramai. Hiruk pikuk bunyi motor yang hilir mudik membuat suasana agak bising. Anak-anak muda terlihat konvoi bermotor di sepanjang jalan. Bahkan ada yang malam mingguan dengan pasangan di atas motor.

Ilustrasi gambar (pixabay.com)

Suasana sangat meriah di jalan desa terutama di sekitar pasar rakyat. Toko dan lapak jualan di kiri dan kanan jalan terlihat ramai. Penjual aneka kuliner tradisional berjejeran di sepanjang areal pasar rakyat.

Seorang pengendara motor tiba-tiba menghentikan kendaraannya agak ke pinggiran jalan. Menunggu kesempatan untuk bisa menyeberang jalan. 

Tidak begitu lama pengendara yang membonceng seorang perempuan itu berhasil menyeberang jalan.

Pria itu menghentikan motor di depan sebuah warung bakso. Kemudian seorang perempuan berjilbab dalam turun dari boncengan. 

Perempuan itu terlihat masih sangat muda. Cahaya lampu depan warung menerpa dam menerangi wajah cantiknya. Jika ditilik kedua orang itu akan terlihat beda umur yang sangat jauh. 

Sang pria terlihat memberi isyarat untuk memasuki warung. Perempuan mengetahui isyarat yang diberikan dan mengikut di belakang prianya.

"Bakso dua dan es teller juga dua, buk..." ujar pria itu pada pelayan warung.

"Siappp, pak guru...." sahut pelayan warung sembari senyum senyam.

Ternyata pria yang dipanggil 'pak guru' itu sudah dikenal oleh pemilik warung. Begitu pula beberapa pengunjung lain yang lebih dulu datang.

Mereka ada yang menyapa dan mengangguk ketika dilirik oleh pak guru. Tetapi ada pula yang men-dehem dan berbisik-bisik. Seakan ada yang aneh pada pria dan wanita yang baru masuk warung.

Pria yang disapa pak guru itu memilih tempat yang kosong di pojok bagian belakang dan sedikit remang-remang. 

"Aku jadi risih, bang..." gumam sang perempuan.

"Risih kenapa?"

"Sepertinya orang-orang di warung ini sudah mengenal abang...." cetusnya kemudian.

"Oh, cuek saja, nggak usah dipikirin," sahut sang pria menenangkan.

Tak lama bakso dan minuman yang dipesan sudah datang. "Silahkan dinikmati, pak Hendra..." timpal pelayan warung.

"Iya, terima kasih, buk .." sahut sang pria bernama Hendra itu seraya mengangguk ramah.

"Ayo, silahkan dimakan, Meisy..." ujar Hendra. 

Meisy, sang perempuan berjilbab dalam dan berparas cantik itu mengangguk. Ia harus melupakan tanggapan orang lain di warung bakso itu terhadap dirinya.

"Enak baksonya, bukan...?" 

"Iya, enak banget bang ..."

"Bakso di warung ini memang enak, Mei. Tapi ada yang lebih enak dari itu..." Hendra menggantung kalimatnya.

"Apa itu, bang...?" Meisy mengerinyitkan dahi penasaran.

"Duduk berduaan denganmu disini..." cetus Hendra tersenyum gombal.

"Ealahh, gomballl...." Meisy bersungut-sungut manja seraya mencubit paha Hendra.

"Aduh.., sakit tau..." Hendra berseru halus.

"Oh, maaf bang..." Meisy merasa bersalah. 

"Nggak apa-apa. Tapi abang serius, Mei. Abang merasa sangat senang berduaan disini. Mungkin karena baru pertama kali malam minggu ini kita bepergian setelah kita jadian..."

"Hai, apa kabar, pak guru?" Seorang pria sudah berdiri di depan meja untuk menyapa.

Hendra mengangkat wajah. Spontan hendra tersenyum dan terlihat gembira. Ternyata pria teman lamanya sudah nongol di hadapannya.

"Alhamdulillah, terkabar baik. Pak Yazid bagaimana kabarnya?" sahut Hendra. 

"Baru ya...?" ujar Yazid melirik sekilas pada perempuan di samping Hendra.

"Ya, begitulah kira-kira..."

"Wah, lebih muda dan cantik..." puji Yazid.

"Ah, pak Yazid bisa aja..." balas Hendra bangga. 

"Salam kenal, buk..." ujar Yazid seraya menyodorkan tangan. "Yazid, saya teman lama pak Hendra..." timpal Yazid. 

"Meisy..." balas Meisy dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan dengan menyentuh ujung tangan Yazid.

"Wah, luar biasa, buk. Semoga dipercepat ke penghulu oleh pak Hendra. Tapi ingat, jangan sia-siakan pak Hendra ya, buk..."

"Insyaallah, tidak pak Yazid..." jawab Meisy malu-malu. Ia agak deg-degan disapa dengan panggilan 'ibuk'.

"Oh, ya. Lanjutkan, saya duluan pulang, pak Hendra..." ujar Yazid berlalu.

"Oke, pak. Hati-hati sampai ke rumah ..."

Hendra melirik Meisy. "Apa yang diharapkan pak Yazid tadi adalah doa, Meisy..."

"Tapi aku jadi takut, bang..." 

"Takut kenapa?"

"Bagaimana dengan anak-anakmu, bang? Apakah mereka setuju aku jadi pengganti ibu mereka?" ucap Meisy serius.

Hendra menyadari ketakutan Meisy cukup beralasan. Seorang perempuan bukan yang pertama, tidak ingin kehadirannya menjadi orang asing dan tidak diterima oleh anak-anaknya Hendra.

"Insyaallah itu tak jadi masalah bagi semua anak abang. Sebelum kita jadian, abang sudah bicara dengan mereka. Mereka setuju kalau pengganti ibunya orang baik-baik dan taat pada suami..." ujar Hendra menyakitkan.

"Syukurlah kalau begitu, bang..."

"Iya, semoga semuanya akan berjalan lancar." timpal Hendra.***