Asni, Kamu Jangan Nekad Gitu Dong
Asni, kamu jangan nekad gitu dong - Mahesa memarkir motor tak jauh dari pintu masuk arena pasar malam. Petugas parkir membantu menempatkan motornya di antara deretan sekian motor. Sejenak ia tertegun, menatap lurus ke arah pintu masuk.
Antrian pengunjung di pintu masuk membuat Mahesa jadi ragu. Memang malam itu malam Minggu. Pasar malam dipadati oleh kalangan anak muda. Ada yang berpasangan. Namun ada pula yang berkelompok sesama wanita. Diperkirakan mereka adalah para jomblowati.
"Abang...," Sebuah suara wanita terdengar menyapa.
Mahesa memutar badan menoleh ke arah sumber suara.
"Asni...! Spontan Mahesa bergumam tatkala melihat orang yang menyapanya.
"Iya, bang..." balas Asni juga bergumam. Sambil melangkah ke arah Mahesa.
"Bersama siapa kamu kesini? Suamimu mana?" tanya Mahesa beruntun.
"Sendirian, bang. Suamiku pergi ke kampungnya..." balas Asni.
"Lho? Ngapain kamu kesini? Kamu baru saja menikah, tidak baik keluar rumah malam-malam begini, apalagi tanpa izin suami," seru Mahesa.
Asni tersenyum manis. Mahesa menikmati pemandangan itu dengan hati berdebar-debar. Cahaya lampu TL menerpa raut wajah Asni. Ia terlihat semakin cantik dan menggoda hati.
Ah, tidak! Aku tak boleh memandangnya berlama-lama. Asni sudah menjadi milik orang lain. Mahesa berkata membatin. Lalu ia menundukkan kepala ke bumi.
"Abang bersama siapa kesini?"
"Sendirian..." jawab Mahesa tanpa melihat ke arah Asni.
"Kalau begitu temani aku di pasar malam ini," pinta Asni berharap.
"Oh, maaf. Abang tidak bisa menemanimu, Asni..."
"Kenapa?"
"Apa kata orang nanti, kamu barusan menikah. Abang tidak mau terjadi fitnah..."
Asni semakin mendekat. Lalu memegang tangan Mahesa. Pria itu terpana. Tak percaya kenyataan ini.
"Asni! Ntar dilihat orang, malu..." tegur Mahesa.
"Bang, aku mau bicara yang sesungguhnya..." cetus Asni tiba-tiba.
"Baik, tapi jangan di tempat keramaian ini..."
"Dimana?"
Mahesa berpikir sejenak.
"Kita naik motor saja. Ngobrol di atas motor, mungkin tidak diketahui orang lain." cetus Mahesa kemudian.
"Baiklah kalau begitu, bang..."
"Abang duluan keluar area parkiran ini lalu kamu susul." timpal Mahesa.
Asni mengangguk setuju.
Mahesa kembali mengambil motor di parkir kemudian bergerak keluar area pasar malam. Ia berhenti persis di ujung di tempat gelap. Menunggu Asni. Tak berapa lama yang dinanti pun datang.
"Ayo, naik...."
Asni menurut dan duduk di boncengan.
"Motormu sudah diparkirkan tadi?" tanya Mahesa.
"Sudah..."
Mahesa mengenakan helm agar tidak dikenali orang lain. Sementara Asni membonceng di belakang tanpa helm.
"Dingin..." cetus Asni. Tangannya tiba-tiba mengalungi tubuh Mahesa.
Mahesa tak mungkin mengelakkan tangan Asni. Namun sungguh mati ia merasa bersalah. Membawa istri orang malam hari lagi.
"Asni..."
"Iya, bang..."
"Abang merasa berdosa..."
"Aku maklum tapi abang tenang saja..." gumam Asni.
"Mana mungkin bisa tenang? Saat ini Abang membawa istri orang..." sergah Mahesa dengan suara dipelankan.
"Iya, tenang aja dulu."
"Hm..., kamu mau bilang apa?"
"Sebenarnya, aku menyesal, bang. Suamiku melarikan diri dan tak pulang-pulang sampai sekarang..." sahut Asni.
Mahesa terdiam. Suara motor yang tidak keras sehingga jelas mendengar suara Asni. Lagi pula mulut Asni dekat di telinga Mahesa.
"Kamu tidak merasa bersalah dengan tindakanmu ini?"
"Tidak, bang. Di balik penyesalan itu aku juga menyayangkan sikap Abang yang membiarkan, bahkan menyuruh aku menikah dengan pilihan orangtuaku itu.
Mahesa terdiam. Menanti kelanjutan ucapan Asni.
"Abang sudah punya pengganti ku?"
Mahesa tidak menjawab. Ia tidak mau Asni berpikir dan nekad.
"Kenapa diam?"
"Eee, kamu tanya apa tadi?"
"Nggak jadi deh..."
"Tapi Abang sudah dengar, kok..."
"Apa coba?" desak Asni mengeratkan pelukannya.
"Penggantimu, belum ada..."
"Kenapa?"
Mahesa terdiam. Lalu ia berkata..."Kamu pasti sudah tahu jawabnya!"
Kini Asni yang terdiam. Kembali teringat ucapan terakhir Mahesa sehari sebelum ia menikah dengan Juhadi.
"Aku rela melepas mu dan menikah dengan Juhadi. Ia lebih muda dariku. Dan lebih pantas menikah denganmu."ujar Mahesa jujur.
"Tapi Abang bagaimana?"
"Tidak usah pikirkan Abang. Abang akan menenangkan diri dulu."...
"Asni... Melamun ya?" tegur Mahesa.
Asni terkesiap. Tapi berusaha tidak terlihat grogi.
"Bang, buka helmnya...."
Mahesa menurut. Tak terasa mereka sampai di jalanan gelap dan jarang terdapat rumah penduduk.
"Berhenti dulu, bang..."
Jantung Mahesa berdetak. Ada rasa takut di hatinya. "Mau ngapain, Asni?"
"Aku dituduh suamiku tidak perawan, bang...."
"Itu sebabnya ia lari?"
"Iya..."
"Tapi kita tidak pernah berbuat apa-apa sebelumnya, bukan?"
"Betul. Tapi itulah dalih yang ia buat dan alasan meninggalkanmu..."
"Asni. Jujur ya? Apa pernah kamu melakukan itu sebelumnya?"
"Tidak, bang... Sebenarnya..." ucapan Asni menggantung.
"Kenapa,Asni?
"Ia yang tidak bisa menunaikan tugasnya, bang." jelas Asni menarik tubuh Mahesa dan memeluk Mahesa.
Mahesa tak bisa menolak.
"Bang, apakah kamu masih mencintai dan menerima aku kembali?"
"Entahlah, Asni..." jawab Mahesa pelan.
"Kok entahlah?"
"Aku tidak tahu lagi, Asni. Aku takut ikut terlibat dengan masalah keluargamu. Takut dituduh kalau akulah penyebab masalah yang kamu hadapi ini." sahut Mahesa jujur.
"Bang, aku masih mencintaimu. Sama seperti saat pertama kali dulu kita bertemu dan jadian." ujar Asni dengan suara pelan.
Nada suaranya terdengar jujur.
"Terima kasih, Asni. Abang juga masih mencintaimu. Tapi aku harus memendamnya agar tidak membuat masalah dengan keluargamu." balas Mahesa.
"Iya, aku mengerti dengan kondisi Abang. Tapi aku akan berjuang sekuat tenaga agar bisa menjalani dan memperjuangkan cinta kita."
"Baik, Abang akan mendukung perjuangan kamu untuk cinta kita berdua... Sekarang kita tunggu saja, biarlah waktu dan takdir yang akan menjawabnya."
"Iya, bang. Sekarang peluklah aku sepuas-puasnya..."
"Tidak, Asni. Sekarang status kamu masih milik orang, istri orang...." bantah Mahesa.
Asni mengangguk maklum. Malam semakin larut. Lalu keduanya kembali ke area pasar malam. Mahesa tidak mengantar Asni pulang ke rumahnya.***