Aisyah, Maafkan Aku...

Aisyah, Maafkan Aku... - Aisyah menangis terisak-isak. Bahunya turun naik mengikuti isakan tangisnya. Hatinya kembali tersakiti. Ucapan suaminya telah menyayat hatinya sampai berdarah. Perempuan soleha itu berusaha untuk tidak menangis lagi. Namun hardikan barusan benar-benar membuat dirinya kecewa.

Ilustrasi gambar (pixabay.com)

Pertengkaran itu bukanlah yang pertama kali. Sudah berulang kali terjadi peretngkaran dalam rumah tangganya. Namun sebagai istri ia harus sabar dan menjadi seorang istri yang baik.

Aisyah tahu diri kalau ia memang seorang perempuan desa yang tidak tamat sekolah dasar. Dan itu sudah dikatakannya sejak awal kepada suaminya, Hendra.

Kesenjangan ilmu dan pengalaman dengan suaminya kadangkala memicu sebuah pertengkaran. Suaminya seorang bertempramen tinggi. Dan, Aisyah pun sudah memahami kondisi suaminya itu. 

Namun berulangkali, setiap kali bertengkar, suami Aisyah mengucapkan kata-kata bodoh. Bahkan sempat membawa-bawa martabat kedua orang tua Aisyah.

“Áku mohon, kalau abang memang sudah bosan, kembalikan saja aku pada orangtuaku…” cetus Aisyah di sela-sela isak tangisnya. Ia tak dapat lagi menahan diri.

Herman, suaminya terkesima. Dahinya berkerinyit mendengar ucapan spontan istrinya. Kemarahan Herman menurun tiba-tiba. Wanita yang dihardiknya 'bodoh' ternyata mampu mengeluarkan kata-kata sebijak itu.

Herman menatap istrinya yang masih berlinang air mata. Tetapi sang istri hanya menundukkan kepala. Tak sanggup menatap mata suaminya.

“Aisyah…! Kamu bilang apa? Kamu minta cerai dari abang….?” tanya Herman tak percaya.

“Kalau abang masih terus menghina aku, lebih baik kita berpisah saja…” balas Aisyah pelan.

Herman justru terdiam.

Sepertinya Aisyah ternyata serius. Seketika pikiran Herman melanglang buana ke masa silam ketika mereka bertemu pertama kali dan berkenalan.

“Sebaiknya abang pikir dulu, agar tidak menyesal dikemudian hari. Pendidikanku hanya sekolah dasar, itu pun tidak sampai tamat…” ujar Aisyah ketika Herman menyampaikan isi hatinya.

“Aisyah…, abang tidak peduli kamu tidak berpendidikan tinggi. Jika kamu merasa bodoh, aku akan mengajarinya. Yang penting bagi abang kamu taat kepada Allah dan mengabdi pada suami….”

“Tapi…, abang seorang guru dan berpendidikan tinggi. Apa abang tidak merasa gengsi jika beristrikan seorang yang tidak berpendidikan ?”

Herman menggenggam tangan Aisyah. Aisyah merasa risih dan tidak biasa diperlakukan seperti itu oleh seorang laki-laki. Tapi kali ini ia membiarkannya karena ia sadar yang menyentuh tangannya adalah seorang guru.

“Aisyah mau tidak jadi istri abang…?” tanya Herman mengulang kembali pertanyaan sebelumnya.

Aisyah mengangguk pelan sembari tersenyum....

Herman tersentak. Menyadari kalau ia telah keliru. Bukankah pada awal perjumpaannya, Aisyah sudah berterus terang? Mengapa ia selalu menghina ketika timbul pertengkaran?

“Astagfirullahal”aziim. Apa yang telah abang ucapkan terhadapmu Aisyah?” gumam Herman tiba-tiba sembari bersandar ke dinding dan menjambak rambutnya.

Aisyah mengangkat wajah. Menyusut air mata yang membasahi di pipinya. Ia merasa haru dengan ucapan istigfar yang keluar dari mulut suaminya.

Namun tiba-tiba Herman mendekat lalu berlutut di kaki Aisyah. Namun Aisyah menarik tangan suaminya. Ia tak akan membiarkan suaminya berlutut meskipun untuk minta maaf dan menyadari kesalahannya.

"Abang tak boleh menangis, apalagi sampai bersujud di kakiku...." ujar Aisyah pelan. 

Herman bangkit dan berdiri. "Maafkan Abang ya? Abang baru sadar kalau Abang terlalu emosional,"

"Terima kasih Aisyah. Kamu perempuan dan istri yang baik meskipun abang sudah menghina dan menghardikmu..." ujar Herman terbata-bata.

Aisyah menyusut sisa air mata suaminya. Sementara Herman juga melakukan hal sama. Menghapus sisa air mata di pipi istrinya. Mereka salin menatap dan tersenyum. Senyum bahagia.***