Pulang Kampung

Pulang kampung - Motor matic warna hitam keluaran terbaru itu kini mulai bergerak agak perlahan. Pengendara dan pemboncengnya lebih santai sesampai di jalan lintas sumatera. Kedua orang di atas motor itu telah bisa ngobrol.

Ilustrasi gambar (pixabay.com)

Sebelumnya mereka telah melewati jalan yang lebih banyak rusak ketimbang bagusnya. Puluhan kilometer telah mereka lewati dengan hati-hati dan sabar.

"Kalau sudah sampai di jalan di pinggiran danau ini, berarti kita sudah dekat dengan kampung papa," ujar pria paruh baya, pak Yadi berkomentar.

"Iya, pa... Aku masih ingat rumah nenek kok, pa..." sahut Rahmi, gadis yang membonceng di belakang sembari menoleh ke arah danau.

Angin Danau Singkarak berhembus pelan di siang menjelang sore itu. Mentari yang sudah condong ke ufuk barat di perbukitan bersinar tidak terlalu terik. Awan tipis di angkasa menghalangi cahaya teriknya. 

Pembiasan menyebabkan warna air danau menjadi biru dan indah di pandang mata.

"Pa, aku takut menghadapi tante, keponakan dan keluarga papa yang lainnya," cetus Rahmi tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Aku sudah lama sekali tidak mengunjungi mereka..." 

"Soal takut, papa justru lebih takut lagi..." potong pak Yadi.

Rahmi terdiam. Ia sudah dapat mengira apa yang akan disampaikan papanya.

"Kamu tau kenapa? Karena papa juga sudah lama tidak pulang kampung, mengunjungi saudara dan keponakan papa yang sudah besar. Padahal jarak rumah famili papa itu tidak terlalu jauh dari tempat kita..."sambung pak Yadi.

"Lalu apa kata mereka nanti, kalau kita sudah sampai disana, pa...?" Rahmi agak was-was.

"Entahlah. Papa juga tidak tahu bagaimana reaksi mereka ketika menerima kedatangan kita, mendadak dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu..." jawab pak Yadi seraya menghela nafas. Terasa berat pria paruh baya itu menghela napasnya.

Rahmi terdiam tak berbicara. Namun ia juga mengerti kerisauan papanya. Ia risau tetapi papanya jauh lebih was-was.

"Nak, tak lama lagi kamu akan menikah. Mau tak mau keluarga papa di kampung harus diberi tahu soal ini..." ujar pak Yadi perlahan.

"Iya, pa.... Sebab saat pernikahan dan kenduri nanti akan ada acara mengarak anak daro dari rumah bakonya..."

"Justru itu, apa pun yang terjadi nanti setelah kita sampai, harus kita jalani dan kita tak perlu takut...." timpal pak Yadi.

"Kalau nanti mereka tidak hadir setelah kita beritahu dan undang, terserah mereka ya, pa..."

"Iya, nak..." pak Yadi mengangguk pasti. "Kewajiban kita hanyalah menyampaikan kabar baik ini..."

"Iya, pa. Rahmi sekarang pasrah saja apa kata mereka nanti..." sambung Rahmi.

Tanpa terasa mereka sudah hampir sampai. Sebenarnya Pak Yadi tak bisa menghilangkan perasaan bersalahnya karena sudah lama tidak pulang ke kampung. Menengok saudara dan para keponakannya.

Namun pak Yadi yakin, semua akan baik-baik saja jika sudah sampai di rumah saudaranya. Mereka membawa kabar baik, Rahmi anak pak Yadi akan menikah dalam waktu dekat!

Akhirnya mereka sampai di tempat tujuan setelah melewati jalan setapak beberapa puluh meter di kebun pinggiran sebuah sungai.

Pak Yadi memarkir motor di halaman sebuah rumah. Kebetulan pintu sedang terbuka. Kedatangan mereka pasti diketahui oleh penghuni rumah.

Setelah membuka helm dan merapikan pakaian seadanya kedua beranak itu mengucapkan salam.

Seorang perempuan paruh baya, saudara pak Yadi nongol di mulut pintu masuk.

"Waalaikumsalam... Eh, orang jauh sudah datang... Silalahkan masuk..." ujarnya dengan wajah gembira.  

Pak Yadi merasa lega. Kemudian menyalami adik perempuannya itu, begitu pula Rahmi.

"Ini Rahmi, bukan...?" tanya Desiana, saudara perempuan pak Yadi itu saat bersalaman.

"Iya, tante..." balas Rahmi. "Ayo masuk, Rahmi..."

"Yang lainnya kemana, Desi...?"

"Ada, mereka di kamar...." jawab Desiana. "Nadya, buatkan kopi untuk pamanmu...!"

"Iya, Mak..." terdengar sahutan dari kamar.

Para keponakan pak Yadi muncul satu persatu. Mereka duduk bersimpuh di lantai. Rumah saudara pak Yadi sangat berdekatan sehingga suara pak Yadi di dengar oleh keponakan yang di rumah sebelah.

Tak lama Nadya, keponakan pak Yadi membawakan kopi dan minuman untuk Rahmi.

Suasana yang semula tenang berubah agak panas ketika Tante Desiana mulai menggerutu. 

"Sudah lama sekali Uda tidak mengunjungi kami. Uda seakan tidak peduli dengan keponakan Uda sendiri..." ujar Desiana mengeluarkan keluh kesahnya selama ini.

"Iya, paman sibuk dengan pekerjaan dan keluarga sendiri. Kami tak pernah dikunjungi sejak beberapa tahun terakhir.

Begitulah, segala keluhan terhadap pak Yadi dimuntahkan oleh masing-masing keponakannya.

Pak Yadi diam tak menanggapi. Sementara Rahmi terlihat menunduk. Ada rasa takut di hatinya. Papanya pasti menjadi tumpahan kekesalan keponakannya.

"Iya, maafkan Uda Desiana dan semua keponakan paman..." Akhirnya pak Yadi buka suara setelah semuanya menumpahkan segala keluhannya.

Pak Yadi memberikan alasan tanpa untuk membela diri. "Kondisi paman di rantau sebenarnya tidak baik-baik saja. Paman mengalami masalah besar dengan dengan ibunya Rahmi..."

Pak Yadi menceritakan terus terang tentang keluarganya. Semua terdiam mendengar pengakuan pak Yadi.

"Ya, sudah Uda. Lalu ada apa gerangan Uda dan Rahmi datang mendadak kesini...?" pintas Desiana.

"Rahmi, anak paman ini akan berkeluarga bulan depan... " balas pak Yadi.

Semua mata tertuju pada Rahmi. Tapi suasana beku berubah mencair. Para keponakan pak Yadi nampak gembira dan mengucapkan selamat.

"Kami datang untuk mengabari perihal itu. Dan, paman harap kalian hadir di tempat kami...,"

"Insyaallah paman..."sahut salah seorang keponakannya.

Pak Yadi dan Rahmi menarik napas lega. Tuntas sudah satu tugas penting memberi kabar rencana pernikahan Rahmi.

Usai pertemuan itu, pak Yadi dan Rahmi pamit untuk kembali ke rantau dengan perasaan plong.***