Cerpen Terlanjur keluar jendela cinta - "Aku merasa kurang pede saja dengan mas...." ujar Warni datar dan dingin. Dari tadi Sarman nyerocos kesana sini. Pria duda didepannya itu berbicara tentang dirinya meskipun tidak ditanya.
"Kenapa begitu, dek?" Sarman tersentak mendengar ucapan Warni.
"Karena aku sudah tahu siapa diri mas Sarman yang sebenarnya."
"Aku tidak mengerti maksud dek Warni..."
"Mas Sarman, mata keranjang...!"
"Masak...!?"
Sarman mempelototkan mata, kaget bukan main dibilang mata keranjang.
"Iya, pacar mas Sarman itu sudah banyak, ada dimana-mana di negeri kita ini..."
Sarman terdiam.
"Lagi pula mereka itu aku lihat cantik-cantik. Mas pacari semua orang, tak peduli istri orang, janda bahkan gadis." cetus Warni. Suaranya terdengar meninggi.
Sarman makin tersudut. Ia mau bicara dan menjelaskannya tapi Warni sudah berjalan dan meninggalkan Sarman.
"Warni! Tunggu!"
Warni berhenti dan menoleh. Ia memang menunggu Sarman yang menyusulnya.
"Maukah kamu mendengar ucapan mas, sebentar saja..." pinta Sarman.
"Iya, baik. Aku tunggu dan dengar penjelasan mas Sarman."
"Warni, sebelum ini mungkin kamu melihatku seperti itu, mata keranjang. Tapi itu hanyalah sekedar hiburan di medsos saja..."
"Bukan mustahil akhirnya mereka itu mas goda dan pacari...?"
"Tidak benar, Warni..." sangkal Sarman memulai ceritanya.
Di media sosial, Sarman memang seperti banyak pacar. Duet lipsink dengan banyak perempuan. Balasan komentar dari Sarman seolah-olah memang itu pacarnya.
Sarman mengungkapkan hatinya sedang galau dan kesepian sejak kisruh rumah tangganya. Untuk mengusir itu ia membuat akun salah satu media sosial dan mengusir kesepiannya itu dengan lipsink video.
"Apa dek Warni masih belum percaya?" tanya Sarman mengakhiri penjelasannya.
"Aku percaya mas, tapi saat ini aku masih takut kecewa,"
"Aku janji untuk tidak membuatmu kecewa lagi..."
"Aku sudah trauma dengan laki-laki mas..."
Sarman menghela napas.
"Aku tidak secantik atau sekaya perempuan-perempuan pacarnya mas..."
"Warni, aku sedih kalau terus-terusan dibilang perempuan-perempuan pacarnya mas..."
Warni terdiam. Merasa bersalah atas vonisnya terhadap mas Sarman.
"Apakah kamu masih ragu, Warni?"
"Aku butuh waktu untuk menjawabnya mas..."
"Baik, mas akan menunggu kepastian darimu, Warni..."
"Terima kasih mas..."
Warni sebenarnya juga menaruh hati pada Sarman. Namun sebagai wanita janda ia tak mau gegabah, mudah mengiyakan maksud hati seseorang laki-laki.
Seminggu kemudian Sarman kembali menjumpai Warni.
"Aku sudah tak sabar menunggu jawaban darimu, dek. Aku ingin mendengarnya dari mulutmu..." desak Sarman.
"Tapi ada syaratnya, mas Sarman..."
"Apa itu?"
"Aku harus menjadi yang terakhir di hatinya mas..."
Sarman tersenyum. Pria duda itu meraih tangan Warni. Warni pun tak ingin menarik tangannya.
"Insyaallah kamu yang terakhir dalam hidupku." ujar Sarman.
"Bagaimana dengan anak-anakmu mas..?"
"Anak-anakmu sendiri, bagaimana dek?" Sarman balik bertanya.
"Mereka terserah aku saja, mas..."
"Anakku juga terserah aku, dek..." timpal Sarman.
"Berarti anak kita sudah banyak ya mas..."
"Iya, kita sudah ber-ka-be, keluarga besar..." Sarman tertawa diikuti tawa Warni.
"Lalu, kapan kita menghadap penghulu, mas...?"
"Sabar dek, jangan terburu-buru..."
Warni mengangguk paham.
Kedekatan Sarman dan Warni semakin terlihat. Tanpa diduga ibarat air yang akan diminum, air itu sudah mereka kotori lebih dulu. Mereka tak sanggup menahan diri. Terjadilah perbuatan yang tak diridhoi Allah tersebut.
Mereka terlanjur keluar melewati jendela cinta. Nasi sudah jadi bubur. Dan agar tidak sia-sia bubur itu harus diolah menjadi bentuk lain.
"Aku ingin kita segera menikah, mas .." desak Warni.
"Iya, aku juga berpikir begitu dek." ujar Sarman meyakinkan Warni. Dan memang, Sarman menepati janjinya.***